SUCCESS STORY
Kisah Sukses Dokter Daniel Nugroho Bisnis Bandeng Juwana
Kisah Sukses Dokter Daniel Nugroho Bisnis Bandeng Presto di Jalan Pandanaran 57 Semarang.
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG- Pusat oleh-oleh Bandeng Juwana Elrina setiap hari tak pernah sepi pembeli, terlebih pada masa hari raya Idulfitri beberapa waktu lalu. Ratusan bahkan ribuan pembeli dari dalam dan luar kota menyerbu toko yang berada di Jalan Pandanaran 57 Semarang itu untuk mencari oleh-oleh.
Siapa sangka, pada awalnya toko itu hanya mampu menjual tiga ekor, dan harus berjibaku membangun Bandeng Juwana Group. Berikut wawancara Daniel Nugroho Setiabudhi Komisaris PT Bandeng Juwana, Semarang dengan wartawan Tribun Jateng, Dini Suciatiningrum, dan fotografer Wahyu Sulistyawan, beberapa waktu lalu.
Apa yang mendorong Anda membuka usaha Bandeng Juwana Elrina, padahal sudah berprofesi sebagai dokter?
Tidak punya duit. Terlintas dalam benak saya dan istri Ida Nursanty (Alm) saat melihat tiga putri saya mulai beranjak dewasa. Saya membayangkan masa depan mereka tentu membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan, sedangkan penghasilan dokter saat itu masih pas-pasan, apalagi dokter umum, tidak seperti sekarang, mobil saja tidak punya. Jadi saya dan istri mencari usaha sampingan untuk mencukupi kebutuhan.
Mengapa Anda tertarik menjual produk bandeng duri lunak?
Niat awal ingin buka usaha bakery, tetapi terkendala modal, sehingga saya putar otak mencari usaha yang peluangnya besar dengan modal sedikit. Saat itu (1980) saya mengamati sekeliling rumah (Jalan Pandanaran 57 Semarang) dan melihat tujuh toko yang menjual bandeng di kawasan itu cukup ramai pembeli. Muncullah ide membuat bandeng duri lunak.
Modal awal buka usaha Rp 400 ribu, untuk membeli pressure cooker dan bahan lain. Saya dan istri melakukan experimen selama tiga bulan untuk menemukan rasa bandeng duri lunak yang pas. Setiap hari memasak 1-5 Kg ikan bandeng, tetapi tidak dijual, hanya diberikan kawan-kawan agar mendapat masukan atau kritikan. Saya dan keluarga pun harus menikmatik menu makanan ikan bandeng setiap hari selama tiga bulan.
Baru pada 3 Januari 1981 saya membuka usaha bandeng di teras rumah. Warung kecil itu saya buat persis di depan ruang praktik. Hari pertama berjualan bandeng hanya laku tiga ekor, bahkan saudara saya pesimistis usaha bandeng saya bisa maju.
Namun, saya dan istri tidak menyerah, karena yakin bandeng buatan kami akan diterima masyarakat. Perlahan pelanggan mulai berdatangan. Pembeli mulai banyak, apalagi pasien-pasien saya juga ikut membeli bandeng, jadi secara tidak langsung profesi saya membantu pemasaran bandeng.
Bahkan, warung kecil itu kemudian tidak mampu menampung dagangan, sehingga saya memanfaatkan ruang tengah untuk lapak. Namun, bertambahnya pelanggan membuat warung bandeng itu tidak mencukupi. Ruang tunggu pasien juga terdesak barang dagangan, sehingga terpaksa saya pindah di belakang. Selanjutnya dari dana pinjaman teman pemborong saat itu, saya bangun toko kecil dengan luas enam meter.
Mengapa Anda memilih nama merek Bandeng Juwana Elrina?
Nama itu saya pakai karena istri saya, Ida Nursanty (Alm) asli dari Juwana. Saat itu, bandeng Juwana terkenal karena kualitasnya yang bagus. Saat saya mematenkan merek dagang itu sempat ditolak, dengan alasan merek itu adalah nama kota, sehingga saya menambahkan kata Elrina yang merupakan singkatan dari nama tiga putri saya yakni Elizabeth, Maria, dan Johana.
Namun, dua tahun setelah saya patenkan, ada toko dengan nama yang sama, yakni Bandeng Juwana, di Jalan Ngagel Jaya Utara Surabaya, dan meminta saya menghapus nama Juwana. Saya santai saja, toh nama itu saya patenkan lebih dahulu. (tribunjateng/dini suciatiningrum)