Ngopi Pagi
FOKUS : Lonceng Kematian
Baiq Nuril akhirnya harus mendekam di penjara selama enam bulan plus denda Rp 500 Juta, setelah Mahkamah Agung membatalkan putusan bebas
Penulis: cecep burdansyah | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Cecep Burdansyah
Wartawan Tribun Jateng
TRIBUNJATENG.COM -- Baiq Nuril akhirnya harus mendekam di penjara selama enam bulan plus denda Rp 500 Juta, setelah Mahkamah Agung membatalkan putusan bebas Pengadilan Negeri Kelas 1 Mataram. Putusan MA mengusik hati nurani karena dianggap mencederai keadilan.
Para ahli hukum dari berbagai perguruan tinggi banyak yang geleng-geleng kepala karena putusan tersebut berlawanan dengan logika hukum.
Apa yang dilakukan Baiq Nuril semata-mata dilihat dari aspek legalitas formal. Ini membuktikan UU ITE yang selama ini bertujuan mencegah penyalahgunaan transaksi dalam urusan bisnis, malah memakan banyak korban yang tak ada urusannya dengan kegiatan bisnis.
Pasal pencemaran nama baik merupakan senjata ampuh Belanda dalam melanggengkan kolonialisme di tanah air, untuk menangkap prinumi yang kritis terhadap Belanda.
Seandainya dimaknai dari keadilan gender, langkah Baiq Nuril sejatinya didukung oleh hukum, demi menumbangkan arogansi laki-laki atas dominasi perempuan, terutama dalam kuasa laki-laki atas tubuh perempuan.
Budaya patriarki yang seharusnya menempatkan laki-laki sebagai penanggungjawab dan pelindung, malah diselewengkan oleh laki-laki yang sering menempatkan perempian dalam posisi subordinasi, tidak setara, dianggap lemah dalam segala hal, dan celakanya dianggap sebagai obyek seks.
Kasus perkosaan, pelecahan seksual yang marak di berbagai lapisan sosial menunjukkan kuasa laki-laki terhadap perempuan tak ubahnya seperti tiang beton yang sulit dirubuhkan.
Cara berpikir menempatkan perempuan sebagai subordinasi disadari atau tidak terus menembus ruang publik, termasuk politik. Dengan adanya ketentuan 30 persen caleg perempuan yang harus dipenuhi oleh partai untuk ikut serta dalam pemilu, memperlihatkan kuatnya kuasa laki-laki mendominasi ruang publik.
Ketentuan ini bermaksud menerebos dominasi laki-laki di partai politik dalam mendorong perempuan di legislatif, namun pada akhirnya justru memperkuat kokohnya konsep hegemonik laki-laki atas perempuan.
Dalam setiap kasus pelecehan seksual, perempuan selalu jadi korban dua kali. Baiq Nuril yang membongkar percakapan Kepala SMAN 7 Mataram, Muslim, harus jadi korban hukum dan sosial. Dari aspek hukum, ia dipersalahkan dengan alasan pencemaran nama baik.
Dari sisi soial, Baiq Nuril juga yang muncul ke ruang publik, memenuhi ruang media, sementara pelakunya, tidak pernah muncul ke ruang publik. Keberpihakan Presiden atas nasib Baiq Nuril pun tidak akan berhasil mengubah cara pandang kuasa laki-laki atas perempuan.
Kasus Baiq Nuril jadi lonceng kematian bagi hukum dalam menegakkan keadilan dan bagi perjuangan perempuan dalam menegakkan persamaannya di mata laki-laki. Bahkan, vonis MA itu sekaligus membungkam para perempuan yang jadi korban seksual kaum pria untuk melaporkan kejadiannya.
Vonis MA menjadikan perempuan tramua untuk melawan kuasa laki-laki, dan ini justru malah melanggengkan kuasa laki-laki atas perempuan. Mata batin hukum telah gagal melihat persoalan yang sangat substansial, dan hanya melihat prosedur legalistas yang bertumpu pada teks undang-undang yang mati.*