Tradisi Fang Seng sejak Ribuan Tahun masih Lestari Hingga Kini
Peringatan tahun baru Imlek 2019 di berbagai daerah berlangsung meriah. Di antara tradisi dalam Imlek ada pelepasan burung pipit ke alam bebas.
TRIBUNJATENG.COM -- Peringatan tahun baru Imlek 2019 di berbagai daerah berlangsung meriah. Di antara tradisi dalam Imlek ada pelepasan burung pipit ke alam bebas. Ada makna tersirat dari tradisi ini berkaitan dengan karma baik dan perdamaian.
Menjelang dan saat perayaan Tahun Baru Imlek, banyak tradisi yang biasa dilakukan oleh masyarakat Tionghoa yang merayakannya, salah satunya fang seng (fang sheng) atau menerbangkan burung pipit.
Fang seng masih dilakukan hingga saat ini meskipun perkembangan zaman sudah banyak membuat tradisi lama tergerus. Saat perayaan Imlek di Kelenteng Sampookong Kota Semarang, Selasa (5/2) juga diadakan pelepasan burung.
Acara pelepasan burung dipimpin oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, serta Wagub Taj Yasin, Ketua DPRD Provinsi Kepri Rukma Setyabudi, Walikota Semarang Hendrar Prihadi, Pangdam IV Diponegoro Mayjen TNI Mochamad Effendi, Kapolda Jateng Irjen Pol Condro Kirono, serta Pengelola Kelenteng Sam Poo Kong, Mulyadi Setya Kusuma disaksikan ribuan warga.
Mulyadi mengatakan, tema Imlek tahun 2570 ini angkat tema Kemajuan dalam Perdamaian. Disimbolkan dengan pelepasan burung, sebanyak 200 ekor. Dengan maksud sebagai simbolitas di tahun politik agar tetap tercipta perdamaian.
Tradisi pelepasan burung juga dilakukan oleh warga etnik Tionghoa di Solo, sebut saja Meyling. Ia bersama putrinya, Kiesha, mendatangi Kelenteng Tien Kok Sie di kawasan Pasar Gede sejak pagi hari untuk menyerahkan sejumlah burung pipit di dalam sangkar.
Burung-burung tersebut diserahkan kepada orang-orang yang ada di kelenteng untuk kemudian diterbangkan.
Meyling mengaku tradisi ini memiliki makna agar dirinya memperoleh karma baik.
"Ini maknanya agar mendapat karma baik, memang ada di kebudayaan etnis kami," kata Meyling seusai melakukan fang sheng.
Melepas burung juga menjadi sebuah simbol menjalin hidup berkesinambungan dengan alam. "Burung kan hidup di alam bebas, membiarkannya keluar dari sangkar bermakna membiarkan mereka menuju tempat hidup aslinya, di alam," kata dia.
Di sejumlah daerah pelepasan hewan ke alam terbuka disesuaikan dengan kondisi lokasinya. Misalkan mereka yang tinggal di dekat laut, bisa melepaskan tukik atau anakan penyu. Sementara yang berdekatan dengan sungai, bisa melepaskan ikan-ikan.
Selain mendapat karma baik, mereka yakin fang sheng juga dipercaya dapat menghapuskan dosa. Ada juga yang berkeyakinan bahwa melepas burung itu jumlahnya tertentu. Yaitu usia saat ini ditambah satu ekor. Misalnya usia orang saat ini 45 tahun maka melepas burung 46 ekor.
Namun, kebanyakan perayaan fang sheng (fang seng) saat ini memperoleh binatang yang akan dilepaskan dari pasar, mereka membelinya dari pedagang untuk kemudian dilepaskan kembali. Dikutip dari laman Budaya Tionghoa, apa yang terjadi hari ini sebenarnya sedikit bergeser dari makna fang sheng yang sesungguhnya. Fang Sheng bertujuan membebaskan binatang-binatang tersebut dari kehidupan yang terbelenggu.
Jika merujuk pada sejarahnya, fang sheng sudah ada sejak ribuan tahun lalu di China daratan. Tradisi ini disebut sebagai meta karuna terhadap semua makhluk. Ya, tradisi ini memang berawal dari tradisi agama Buddha Mahayana di China yang banyak dilakukan oleh penduduk China. Akhirnya, menjadi budaya yang turun temurun meski mengalami pergeseran.
Imlek 2570 adalah tahun Babi Tanah. Diketahui, Babi merupakan shio terakhir dalam kalender China. Diprediksi pada tahun Babi Tanah ini banyak cinta dan kasih sayang sepanjang tahun. Setiap shio diprediksi memiliki keberuntungannya masing-masing di tahun Babi Tanah ini. (eka/kompas/tribun)