Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

FOKUS: Sumpah Drona dan Sistem Zonasi PPDB

ALKISAH, sejak kecil Basusena tinggal di kompleks istana. Hanya sepelemparan batu dari Padepokan Sokalima, perguruan asuhan Begawan Drona.

Penulis: achiar m permana | Editor: Catur waskito Edy
tribunjateng/bram
Achiar Permana wartawan tribun jateng 

Oleh Achiar M Permana

Wartawan Tribun Jateng

ALKISAH, sejak kecil Basusena tinggal di kompleks istana. Hanya sepelemparan batu dari Padepokan Sokalima, perguruan asuhan Begawan Drona. Dia dibesarkan oleh Adirata, kusir istana di Astinapura.

Kendati bukan seorang pangeran, setiap hari Basusena wara-wiri di istana. Saban hari pula, dia menghadapi pemandangan yang diam-diam menerbitkan rasa iri dalam hatinya. Para kesatria muda Kurawa dan Pandawa belajar, berlatih olah kanuragan, di Padepokan Sokalima.

Mata bocahnya selalu tergoda saat melihat para kesatria muda itu berlatih berkuda, memainkan senjata, dan juga memanah. Aha, pelajaran memanah itulah yang paling membuat hati Basusena tergoda. Ya, sejak kecil dia memang ingin menjadi pemanah ulung.

Singkat cerita, Adirata membawa Basusena kecil ke hadapan Drona. Dia berharap, sang begawan bersedia mengangkat Basusena sebagai murid. Dan, mewujudkan mimpi Sang Basusena menjadi pemanah pilih tanding. Sayang, Drona menampiknya.

"Bukan aku menolak anakmu, Adirata. Aku sudah terikat sumpah, untuk hanya mengajar para kesatria. Para Pandawa dan Kurawa," kata Drona, yang membuat hati Adirata, dan lebih-lebih Basusena, patah.

Ya, Padepokan Sokalima memang hanya teruntuk para kesatria Pandawa dan Kurawa. Bahkan, Aswatama, putra semata wayang Drona pun tidak tercatat sebagai siswa Sokalima. Apalagi Basusena, yang cuma anak kusir. Sekalipun kusir istana.

Basusena, yang di kemudian hari lebih kita kenal sebagai Adipati Karna, bukan satu-satunya siswa yang tertolak untuk masuk Padepokan Sokalima. Bambang Ekalaya, kesatria dari Paranggelung, juga menerima nasib setali tiga uang. Ekalaya, yang sangat ingin menjadi pemanah ulung--seperti juga Karna--harus gigit jari karena Drona tidak bersedia mengangkatnya sebagai murid.

Untunglah, Basusena kecil bukan bocah yang gampang menyerah. Dia memang kecewa, tetapi kekecewaan itu tidak membuahnya patah arang. Dengan penuh kesungguhan, dia kerap belajar secara ilegal, dengan cara mengintip saat Drona mengajar.

Hasilnya? Dia memiliki kemampuan memanah yang jauh di atas rata-rata. Bahkan nyaris menyamai Arjuna, murid terkasih Drona. Lebih-lebih, Karna sempat berguru pada Parasurama atau Rama Bargawa, yang juga dikenal sebagai ahli jemparing pilih tanding.

Begitu pula Ekalaya. Perjuangan putra raja Nisada itu lebih berdarah-darah. Dia menyepi ke kesunyian Hutan Kamiaka, membuat patung Drona, dan menjadikannya "guru" yang mengawasi proses latihannya. Hasilnya? Ekalaya tercatat sebagai pemanah setitis Arjuna.

Kisah Basusena dan Ekalaya yang tertolak oleh Padepokan Sokalima, sebuah lembaga pendidikan terkemuka di Astinapura, melejing ke benak saya di tengah-tengah proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), yang telah, sedang, dan akan berlangsung di sejumlah daerah.

Kebijakan baru berupa sistem zonasi, penerimaan siswa berdasar kedekatan tempat tinggal dengan sekolah (negeri), membuat sejumlah calon siswa serta merta (!) tertolak.

Hanya, karena tempat tinggalnya agak jauh dari sekolah. Atau, kebetulan, di sekitar sekolah banyak perumahan baru, yang anak-anak penghuninya sedang pada usia masuk sekolah.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved