Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Bocah 14 Tahun di Pekalongan Jadi Tulang Punggung Keluarga

Di Kabupaten Pekalongan, seorang anak usia 14 tahun terpaksa berhenti sekolah dan harus bekerja untuk menghidupi adiknya.

Editor: agung yulianto
zoom-inlihat foto Bocah 14 Tahun di Pekalongan Jadi Tulang Punggung Keluarga
Tribun Jateng/Yusup Bayu Permadi
BERSIHKAN RUMAH: Septi membersihkan rumahnya di RT 01 RW 07 Desa Jeruksari, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, Jumat (12/7/2013).

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Yusup Bayu Permadi

Kisah-kisah pilu tentang seorang anak yang terpaksa berjuang melawan hidup yang keras, bukan hanya dialami Tasripin atau Indah Sari, di Purbalingga. Di Kabupaten Pekalongan, seorang anak usia 14 tahun terpaksa berhenti sekolah dan harus bekerja untuk menghidupi adiknya.

LANTAI keramik berwarna hitam di teras sebuah rumah terlihat rusak dan banyak yang terlepas. Sisa endapan banjir rob pun masih membasahi lantai teras depan rumah tersebut. Di dalam rumah, nampak kosong tak berisi. Hanya sebuah lemari tanpa pintu serta sebuah meja yang terlihat menghiasi rumah kecil tersebut.

Rumah di RT 01 RW 07, Desa Jeruksari, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, itu bukan tanpa penghuni. Adalah Septi Krismaningsih, gadis berusia 14 tahun yang menempati rumah kecil tersebut, bersama sang adik, Slamet Santo (10). Keduanya hidup sendiri sejak satu tahun terakhir.

Septi mengaku untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari bersama sang adik, ia bekerja sebagai buruh "nyolet" batik untuk sebuah industri batik di desa Tegaldowo. Septi menuturkan, setiap hari ia memperoleh uang Rp15 ribu dari hasilnya sebagai buruh batik.

"Seminggu bisa empat sampai lima kali," katanya kepada Tribun Jateng, Jumat (12/7/2013).

Uang itu, lanjutnya, digunakannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama adiknya, Santo, seperti makan serta membayar listrik. Septi mengaku, setiap bulan harus membayar listrik Rp 15 ribu kepada tetangga, yang menyalurkan listrik ke rumahnya.

Septi pun rela tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP karena ketiadaan biaya. Septi mengaku sudah mulai bekerja sebagai buruh batik sejak lulus sekolah SDN Pabean, pada 2012 lalu. Saat itu kondisi sang ibu, Bawon, sakit-sakitan.

"Ibu sakit liver selama empat bulan, saat itu gak ada biaya" jelasnya.

Beban Septi kian berat, takkala ibunya tercinta dipanggil oleh Yang Mahakuasa, setahun lalu. Tiga tahun sebelumnya ayah Septi, Casmo, meninggal lantaran terpeleset di kawasan pelabuhan.

Semenjak kedua orang tuanya meninggal, praktis Septi menjadi tulang punggung keluarga. Di usianya yang masih 14 tahun, yang seharusnya digunakan untuk belajar dan bermain bersama teman sebayanya, ia harus rela banting tulang untuk bisa bertahan hidup.

Ramadan kali ini, juga menjadi yang pertama bagi Septi dan Santo tanpa ditemani Ibunya. Septi mengaku masih ingin bersekolah, namun ketiadaan biaya membuatnya harus mengubur impiannya untuk bisa meraih cita-cita menjadi seorang koki handal.

Bukan hanya Septi, sang adik, Santo, juga tidak bersekolah. Menurut Septi, adiknya sempat sekolah di SDN Pabean, namun itu hanya berlangsung beberapa hari. Saat itu, lanjutnya, Santo enggan bersekolah lagi. "Katanya malu jadi nggak mau sekolah lagi," ujarnya.

Banjir rob yang kerap datang membuatnya semakin menderita. Ia bersama adeknya harus membersihkan seisi rumah saat banjir rob merendam. Bisa dibayangkan, anak seusia Septi dan Santo harus menanggung beban hidup yang begitu berat.

Bantuan seperti raskin memang kerap Septi dapatkan, ia pun memperoleh dana Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) Rp300 ribu beberapa waktu yang lalu.

Toah (60), kerabat Septi yang rumahnya persis disebelah kediaman Septi mengaku, ia sangat prihatin dengan kondisi Septi dan adiknya. Namun, Toah pun tidak bisa berbuat banyak karena kondisi keluarganya pun sama-sama susah. 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved