Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Pilpres 2014

Mundurnya Prabowo dalam Pilpres Tak Bisa Dipidana, Benarkah?

Mundurnya Prabowo Subianto dari arena Pemilihan Presiden 2014 tidak bisa dikenai sanksi pidana.

Editor: rustam aji
zoom-inlihat foto Mundurnya Prabowo dalam Pilpres Tak Bisa Dipidana, Benarkah?
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Menolak Hasil Pilpres - Calon presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato penolakkannya terhadap hasil pilpres 2014 di Rumah Polonia, Jakarta Timur, Selasa (22/7/2014).

TRIBUNJATENG.COM, YOGYAKARTA - Mundurnya Prabowo Subianto dari arena Pemilihan Presiden 2014 tidak bisa dikenai sanksi pidana. Sebab, undang-undang mengatur ketentuan pidana apabila yang bersangkutan mundur sebelum pencoblosan atau mundur setelah penetapan pemenang pada putaran pertama. Sementara dalam Pilpres 2014 tidak ada putaran pertama dan putaran kedua.

“Kelihatannya mereka sudah mengkaji itu sebelumnya sehingga tidak bisa dikenai pidana," kata Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Dr. Eddy OS Hiarej, Rabu (23/7/2014).

Eddy menegaskan, meski tim Prabowo menyebutkan bahwa Prabowo mundur dari proses rekapitulasi dan menolak hasil pilpres, namun hasil penetapan pemenang pilpres oleh KPU Pusat tetap sah secara hukum.

Selanjutnya, terkait rencana tim sukses Prabowo yang bakal menempuh jalur hukum ke Makamah Konstitusi (MK) dinilai kontraproduktif dan inkonsisten. Sebab, Prabowo sudah menyatakan mundur dari pilpres. “Kalo pun maju ke MK, itu sangat lucu,” ucap dia. 

Hala sama juga, disampaikan Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai tindakan calon presiden Prabowo Subianto yang menarik diri dari Pemilu Presiden 2014 tidak dapat dipidanakan. Menurut Yusril, hasil pemilu tidak terpengaruh oleh sikap Prabowo tersebut.

Yusril mengatakan, berdasarkan Pasal 245 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasangan calon bisa dipidana jika mundur sebelum pemungutan suara atau pencoblosan. Tindakan Prabowo, yang mundur setelah pencoblosan, ia anggap tidak menimbulkan efek apa pun terhadap penyelenggaraan pemilu.

"Terhadap Prabowo sendiri, apapun tafsir terhadap istilah menarik diri yg dikemukakan, tdk dapat diancam pidana dg ps 245 UU Pilpres," kata Yusril melalui akun Twitter-nya, Rabu (23/7/2014).

Hal yang sama juga berlaku bagi partai pendukung Prabowo dan calon wakil presiden Hatta Rajasa.

Menurut Yusril, keberadaan Pasal 245 dan 246 pada UU tersebut dimaksudkan untuk mencegah calon yang telah ditetapkan sebagai kontestan pemilu mundur sehingga pemilu batal, lebih-lebih jika hanya diikuti dua pasangan calon. Pembuatan kedua pasal itu dilakukan untuk memidanakan pasangan calon yang mundur sebelum pencoblosan.

"Tapi kalau pasangan calon menarik diri sesudah pencoblosan, atau partai pengusungnya berbuat sama, tindakan tsb tidak diancam dg pidana," ujar Yusril yang tengah berada di Eropa saat menulis pesan di Twitter-nya.

Pendapat berbeda disampaikan kandidat doktoral dari University of New South Wales, Bhatara Ibnu Reza, yang memaparkan bahwa dalam Pasal 15 (f) UU No 42/1998 tentang Pemilihan Umum disebutkan syarat awal pasangan capres dan cawapres adalah menyerahkan surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri sebagai pasangan calon.

Kemudian pada pasal 22 ditegaskan dengan lengkap bahwa pasangan calon atau salah seorang pasangan calon dilarang mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan capres dan cawapres oleh KPU.

Dari dua peraturan larangan itu, bisa langsung merujuk ke Pasal 245. Di sana disebutkan, capres atau cawapres yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah ditetapkan KPU, dipidana dengan pidana penjara minimal 24 bulan dan maksimal 60 bulan, disertai denda minimal 20 miliar rupiah dan maksimal 50 miliar rupiah.

“Jadi, melihat pernyataan resmi Prabowo tanggal 22 Juli, sudah terang benderang bahwa Prabowo melakukan tindak pidana Pilpres. Atas nama supremasi hukum, Prabowo Subianto bisa dipenjara,” katanya dalam siaran pers yang diterima KONTAN, Selasa (22/7). 

Lebih jauh Bhatara menambahkan, mundurnya Prabowo otomatis menghilangkan haknya untuk menggugat hasil pilpres ke Mahkamah Konstitusi. Logikanya jelas, yaitu atas dasar apa Prabowo menyampaikan gugatan ke MK, jika dia sendiri tidak mengakui hasil Pilpres yang seharusnya menjadi dasar gugatan?

Sementara itu, Rektor UGM Prof. Dr. Pratikno, menilai peryataan Prabowo Subianto mengundurkan diri dalam Pilpres 2014 dan menolak hasil rekapitulasi KPU Pusat mencerminkan sikap tidak demokratis dan dewasa dalam berpolitik.

"Prabowo seharusnya mengikuti proses hingga selesai. Sampai KPU mengumumkan pemenang pilpres. Kalau pun menolak hasi pilpres maka secara konstitusional bisa digugat di tingkat MK," tegas Pratikno. (*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved