Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Begini Sengketa Status Krimea Berdasarkan Hukum Internasional

Begini Sengketa Status Krimea Berdasarkan Hukum Internasional, menurut Rio Abadi Putra, S.H., L.L.M

Penulis: galih pujo asmoro | Editor: iswidodo
zoom-inlihat foto Begini Sengketa Status Krimea Berdasarkan Hukum Internasional
tribunjateng/galih pujo asmoro/ist
Rio Abadi Putra, S.H., L.L.M kandidat Doktor Hukum Internasional

TRIBUNJATENG.COM- Krimea adalah bagian dari Pinggiran Taurida milik kekaisaran Rusia antara tahun 1784 dan 1917. Selama perang saudara di Rusia, antara tahun 1917-1921. Akhirnya pada 1971
Krimea menjadi bagian dari Uni Soviet Rusia. Sebelumnya tidak ada kepastian akan status kewilayahan lantaran pada 1921, Krimea diberi status otonom. Perang Dunia II, 1944, pemerintah Uni Soviet mendeportasi suku tatar Krimea karena di duga berkoloborasi dengan Nazi. Seusai perang, wilayah yang tadinya otonom dicabut kembali.

Pada 1954, Ketua Presidium Uni Soviet, Nikita Kruschev memberikan Krimea dari repulik Rusia ke Republik Ukraina. Dan hari ini,  apa yang dilakukan Kruschev  dengan memberikan Krimea menjadi masalah dunia internasional. Tidak sedikit negara mengecam tindakan Rusia dainggap melakukan aneksasi atau pencaplokan wilayah. Namun ada juga negara yang mendukung langkah Moscow menjadikan Krimea sebagai bagian dari wilayahnya. Untuk mengetahui keabsahan mengenai status Krimea itu, perlu diketahui apakah penambahan wilayah yang dilakukan oleh Rusia dibenarkan atau tidak.    

Referendum yang dilakukan Krimea 16 Maret 2014 lalu menghasilkan mayoritas penduduk di Krimea ingin bergabung dengan Federasi Rusia. Namun hal itu menjadi polemik dalam pengakuannya di PBB. Apakah Krimea mejadi bagian Rusia yang sah secara hukum internasional atau krimea masih menjadi bagian sah Ukraina.

Pada 27 maret 2014, Mayoritas anggota di Majelis Umum PBB memutuskan dengan keyakinannya menolak Krimea menjadi wilayah Rusia.

Sebanyak 100 negara mendukung Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 68/262. Sedangkan Armenia, Belarusia, Bolivia, Kuba, Korea Utara, Nikaragua, Rusia, Sudan, Suriah, Venezuela, dan Zimbabwe menentang hal itu dan 58 negara abstain, serta 24 negara lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 68/262, adalah resolusi yang ditetapkan pada 27 maret 2014 oleh sesi ke-68 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai tanggapan terhadap krisis Krimea 2014.

Menurut hukum internasional, ada beberapa cara yang dibenarkan dalam penambahan wilayah, di antaranya adalah okupasi (occupation) yaitu perolehan dan atau penegakan kedaulatan atas wilayah yang terra nullius (wilayah yang sebelumnya belum pernah diletakkan dibawah kedaulatan suatu bangsa). Ke dua adalah dengan cara Akkresi (accretion) yaitu penambahan wilayah yang disebabkan oleh proses alamiah. Misalnya, terbentuknya suatu pulau/daerah yang disebabkan oleh endapan lumpur.

Ke tiga adalah Preskripsi (Preskription) merupakan perolehan wilayah yang dikarenakan oleh okupasi terhadap wilayah negara lain yang dilakukan secara terus menerus dan dalam jangka waku yang lama, pelaksanaan kedaulatan secara de facto, dan tidak ada protes dari pemilik Negara yang terdahulu. Ke empat adalah dengan cara Cessi atau penyerahan (Cession) yaitu penyerahan wilayah yang dilakukan secara sukarela atau dengan paksaan akibat kalah perang.

Ditinjau dari penambahan wilayah yang dilakukan oleh Rusia, maka menurut hukum internasional, prosedur penambahan  wilayah ke suatu negara dibenarkan jika dilakukan dengan cara damai atau tanpa kekerasan.  

Berdasarkan piagam PBB Pasal 2 ayat 4 yang berbunyi “Dalam melaksanakan hubungan internasional semua anggota harus mencegah tindakan-tindakan yang berupa ancaman atau kekerasan terhadap kedaulatan atau kemerdekaan politik Negara lain” pasal tersebut dengan tegas menjelaskan pelarangan penambahan wilayah dengan cara kekerasan. Dalam kenyataannya sejak pasukan Rusia tiba di Krimea pada maret 2014, tidak ada satupun kontak senjata yang menyebabkan korban jiwa antara pasukan Rusia dengan pasukan Ukraina, atau antara pasukan Rusia dengan masyarakat Krimea.

Ditinjau dari referendum yang telah dilakukan pada 16 maret 2014, maka menurut hukum internasional referendum merupakan cara damai dan sah dalam pemungutan suara oleh penduduk suatu wilayah untuk menentukan nasibnya. Referendum dibenarkan secara hukum Internasional. Referendum di Krimea mirip dengan yang dilakukan oleh masyarakat Timor-timor pada tahun 1999 yang memilih untuk berpisah dari Indonesia.

Dalam kasus Krimea, berdasarkan hasil referendum yang dilakukan, dapat dilihat sebanyak 80,42% atau 1.233.002 penduduk Krimea setuju untuk bergabung dengan Pemerintah Federasi Rusia, sisanya 2.09% atau 31.997 penduduk yang ingin tetap bergabung bersama Ukraina. Maka berdasarkan Pasal 2 Ayat 4 Piagam PBB, Krimea, secara hukum internasionaln merupakan wilayah sah Federasi Rusia. (*)

Ditulis oleh Rio Abadi Putra, S.H., L.L.M
Candidat Doktor Hukum Internasional
Peoples’ Friendship University of Russia, Moscow, Russia

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved