Muktamar NU
NU Jangkar Masyarakat Sipil
NU sejatinya menjadi penyeimbang atas negara, sehingga demokrasi dapat berjalan dengan baik, karena besarnya partisipasi publik.
MUKTAMAR NU ke-33 yang digelar mulai hari ini, 1 Agustus hingga 5 Agustus menjadi momen yang sangat penting untuk meneguhkan kembali identitas NU sebagai jangkar masyarakat sipil. NU sejatinya menjadi penyeimbang atas negara, sehingga demokrasi dapat berjalan dengan baik, karena besarnya partisipasi publik.
Sejak muktamar NU 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU menegaskan pentingnya kembali ke khittah 1926. Yaitu, entitas NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah). Pilihan kembali ke khittah merupakan langkah strategis, karena NU hadir untuk melakukan pemberdayaan warga dan umat, bukan untuk meraih kekuasaan politik praktis.
Kembali ke khittah mempunyai dampak positif, karena sejalan dengan arus demokratisasi yang mulai tumbuh pada saat itu. Bersamaan dengan itu, wacana masyarakat sipil mulai muncul ke permukaan yang diprakarsai oleh KH Abdurrahman Wahid bersama sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat.
Salah satu prestasi yang menonjol dari peran NU sebagai jangkar masyarakat sipil, yaitu tumbangnya rezim Orde Baru. NU menjadi salah satu organisasi sosial kemasyarakatan yang memainkan peran masyarakat sipil.
Lebih dari itu, deklarasi kembali ke khittah menjadikan NU mampu melakukan konsolidasi organisasi, kaderisasi, dan pembaruan pemikiran keislaman. Gus Dur sebagai ikon kembali ke khittah telah berhasil menjadikan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang kokoh secara pemikiran, kaderisasi, dan peran-peran kontrol terhadap negara. Bahkan, hal tersebut berujung pada sebuah prestasi yang sangat menggemparkan jagat politik nasional, yaitu terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia.
Maka dari itu, pilihan kembali ke khittah merupakan pilihan yang tepat dan memberikan dampak yang luar biasa bagi kemajuan NU serta peran NU dalam melakukan transformasi demokrasi di negeri ini. Konsekuensinya, NU selalu menjadi “referensi utama” bagi negara dan publik di saat-saat genting. Di sinilah NU hadir sebagai kekuatan penting di republik ini.
Secara historis, gerakan kembali ke khitah NU bertujuan memelihara, melestarikan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah, menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian martabat manusia.
Dalam hal ini, khittah hendak memperkuat ideologi NU sebagai organisasi yang mengedepankan moderasi dan toleransi. Secara eksplisit Ahlussunnah wal Jamaah ala NU menggarisbawahi dasar-dasar paham keagamaan yang bersumber dari Alquran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas dengan menggunakan pendekatan mazhab yang otoritatif.
Dalam bidang akidah merujuk pada Imam Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam bidang fikih merujuk pada Imam Syafii, Malik, Hanafi, dan Ahmad. Sedangkan dalam bidang tasawuf merujuk pada Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.
Pendekatan keagamaan yang seperti ini meneguhkan posisi NU sebagai gerakan keagamaan yang sejalan dengan prinsip khittah. Artinya NU bukanlah gerakan politik praktis, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Wahabisme di Arab Saudi. NU secara eksplisit menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan yang fungsinya memberikan pencerahan kepada umat agar lebih berperan untuk membawa panji kemaslahatan publik.
Puncaknya, gerakan kembali khittah NU bertujuan untuk membangun bangsa. Seluruh aktivitas yang dilakukan oleh NU pada ujungnya untuk mendukung dan terlibat langsung dalam pembangunan bangsa di berbagai sektor kehidupan. Meskipun NU bukan sebagai gerbong politik praktis, tetapi peran-perannya tidak akan pernah kalah dari partai politik. Bahkan, di saat politik praktis mengalami kebuntuan dalam mengambil keputusan, maka NU dapat memberikan alternatif pemikiran untuk kemajuan bangsa.
Dalam konteks kekinian, peran NU sebagai masyarakat sipil ini semakin menemukan momentum. Di tengah kuatnya arus politik dalam demokratisasi, maka posisi NU akan semakin penting untuk mengambil peran kontrol dan penyeimbang terhadap pemerintah (check and balance system). Terlalu berat beban demokrasi jika hanya diberikan kepada partai politik. Perlu keterlibatan langsung dari organisasi sosial keagamaan untuk meluruskan tujuan utama demokrasi, yaitu kesetaraan, kedamaian dan keadilan sosial.
Maka dari itu, muktamar NU ke-33 yang berlangsung di Jombang harus bekerja keras untuk memastikan bahwa NU akan selalu berada di garda terdepan sebagai gerakan masyarakat sipil. Tidak hanya itu, agenda-agenda kultural dan ekonomi harus dibicarakan dengan serius. Begitu pula di bidang pendidikan, khususnya pendidikan tinggi yang semakin penting dibangun bagi warga NU yang berada di pedesaan. Tidak terkecuali, program-program pemberdayaan politik warga NU agar tidak mudah tergiur dengan money politics, tetapi mengedepankan politik sebagai jalan untuk mewujudkan kemaslahatan warga.
Dengan demikian, NU sebagai jangkar kekuatan masyarakat sipil akan menjadi trade mark yang kuat dan perannya dirasakan langsung oleh seluruh warga. Sudah saatnya NU tidak ditarik ke kiri dan ke kanan untuk kepentingan politik praktis. Biarkan NU dapat berperan lebih besar untuk warga dan menjadi penyeimbang bagi pemerintah, khususnya bila kebijakannya tidak sejalan dengan hati nurani rakyat. (*/uji)
Zuhairi Misrawi
Intelektual Muda NU dan Ketua Moderate Muslim Society