Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Dugaan Pencabulan Saipul Jamil

Setelah Tes Urin di BNN, Saipul Jamil Meneteskan Air Mata Saat Tiba di Mapolsek. Ini Fotonya. .

Jadi sulit menyebutnya pedofilia, karena pedofilia dikenakan ketika korban berusia maksimal pubertas..

Editor: a prianggoro
Tribunnews/Jeprima
Tersangka kasus pencabulan Saipul Jamil terlihat meneteskan air mata setibanya di Kantor Polsek Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (19/2/2016). Saipul Jamil seusai melakukan tes urin di kantor Badan Narkotika Nasional (BNN). 

TRIBUNJATENG.COM- Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menilai dugaan pencabulan yang dilakukan artis dangdut Saipul Jamil kepada remaja pria berusia 17 tahun, tidak serta merta menandakan bahwa Ipul seorang pedofilia murni atau predator penyuka seks terhadap anak-anak.

Sebab, kata dia, dalam literatur ilmiah disebutkan bahwa pedofilia dikenakan terhadap pelaku jika korbannya belum memasuki masa pubertas atau maksimal saat pubertas.

Sementara, korban Ipul ini, tambahnya, meski termasuk anak karena berusia 17 tahun atau karena dibawah 18 tahun, korban sudah melewati masa pubertas.

"Jadi sulit menyebutnya pedofilia, karena pedofilia dikenakan ketika korban berusia maksimal pubertas," kata Reza, Jumat (19/2/2016).

Namun, kata Reza, jika merujuk UU Perlindungan Anak, memang bisa saja Ipul disebut pedofilia, karena korbannya dibawah 18 tahun yang masuk dalam kategori anak.

Menurut Reza dari kasus Ipul ini menjadi contoh peristiwa tentang pedofilia situasional yang dilatari oleh homoseksual fakultatif.

"Artinya pelaku yang pada dasarnya penyuka orang dewasa memilih 'anak-anak' dalam tanda kutip, lebih karena itu yang tersedia. Mengapa ia pilih lelaki, juga lebih karena jenis kelamin itu yang bisa ia sasar pada saat itu. Dengan demikian, faktor situasi lebih dominan ketimbang faktor kecenderungan seksual," papar Reza.

Karenanya dengan peristiwa yang menjerat Ipul, tambahnya, menandakan hukuman kebiri yang disebut-sebut sebagai cara jitu untuk membuat jera para predator terbantahkan. Sebab kebiri menyasar hormon pelaku.

"Namun ternyata kejahatan seksual bukan persoalan alat vital dan hormon, melainkan lebih pada mindset atau psikis. Dengan begitu predator bisa memakai instrumen apa pun untuk beraksi, sekalipun dikebiri," kata Reza.

Atas kasus ini, Reza berharap persidangan tetap dilakukan terbuka sebagai bentuk pembelajaran masyarakat, meskipun dalam hukum acara disebutkan persidangan kasus kekerasan seksual pada anak mesti dilakukan tertutup. (Tribunnews.com)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved