Kisah Perjalanan Tren Topi Pet, dari Detektif sampai Pencopet
Topi pet dalam riwayatnya pernah menjadi bagian dari pakaian kaum jelata di Inggris..
TRIBUNJATENG.COM- Lahir di Eropa pada abad pertengahan, topi pet kemudian melintas waktu hingga sekarang ini.
Topi pet, sebentuk tutup kepala melengkapi macam-macam personifikasi pemakainya.
Ada yang merasa seperti tokoh imajinatif Sherlock Holmes. Ada juga yang menyebutnya penpet.
Topi pet dalam riwayatnya pernah menjadi bagian dari pakaian kaum jelata di Inggris.
Pada 1571, Pemerintah Inggris mewajibkan warga memakai topi wol ini sebagai salah satu langkah meningkatkan penjualan sekaligus menggenjot produksi wol pada era revolusi industri.
Saat itu, wol yang diuntai dari bulu domba ini menjadi sumber penghasilan utama masyarakat Inggris.
Pusat-pusat industri di Vlaanderen dan Italia sangat bergantung pada produksi wol Inggris.
Meskipun akhirnya Pemerintah Kerajaan Inggris menghapus kewajiban memakai topi pet itu dua setengah dekade kemudian, rakyat telanjur menyukainya.
Rakyat kelas pekerja di Inggris identik dengan topi ini. Topi pet kemudian meluas ke Amerika seiring banyaknya imigran Eropa yang datang ke negeri Paman Sam itu.
Topi pet semakin mendunia ketika bintang film Hollywood memakainya, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam film. Sebutlah misalnya Marlon Brando dan Sean Connery.
Marlon Bando memakai topi pet saat membintangi film The Wild One (1953).
Dia berperan sebagai Johnny Strabler, pimpinan geng motor yang tampil dengan celana jins, sepatu bot, jaket kulit bergambar tengkorak, dan tentu saja topi pet.
Meskipun kerap melanggar hukum, Johnny memikat banyak gadis.
Film ini bukan saja menstimulasi anak-anak muda untuk memodifikasi sepeda motornya, melainkan juga mewabahkan pemakaian topi pet.
Ia naik kelas dari topi para pekerja menjadi atribut aktor.
"Seingat saya film itu baru pada tahun 1960-an masuk Indonesia. Penampilan Marlon Brando memukau sehingga gayanya banyak ditiru, termasuk topinya," kata Jose Rizal Manua (62), pelatih dan pemain teater, yang juga belakangan suka memakai topi pet.
Menjamur di Tanah Air
Tahun-tahun itu, anak-anak muda di Tanah Air keranjingan memakai topi pet. Tokoh-tokoh sastra ataupun bintang film banyak yang memakai topi ini.
Sebutlah Slamet Rahardjo, Sapardi Djoko Damono, dan Putu Wijaya. Sapardi dan Putu masih kerap memakai topi pet ini hingga sekarang.
Para pemakai topi ini ingin mengesankan diri ganteng dan gagah, setidaknya seperti Brando.
Kesan itu pula yang ingin disampaikan Jose saat memainkan lakon monolog Mas Joko karya Remy Sylado.
"Topi itu untuk mengelabui usia Joko karena dia sudah tua, tetapi mengaku masih muda," kata Jose yang berencana keliling Jawa mementaskan Mas Joko.
Sosok lain yang turut memopulerkan topi pet adalah Sherlock Holmes, tokoh imajinatif rekaan Sir Arthur Conan Doyle.
Arthur menulis 12 seri cerita pendek tentang petualangan detektif Sherlock Holmes yang antara lain digambarkan sebagai sosok cerdas, pantang menyerah, dan selalu memakai topi pet.
Serial Sherlock Holmes banyak dibaca dan menginspirasi generasi muda, termasuk di Indonesia.
Sampai-sampai, dalam salah satu cerita Lupus karya Hilman Hariwijaya berjudul Interview With The Gang Nyamuk (1995), penulis menggambarkan Lupus dan Boim, rekannya, memakai jas panjang dan topi pet bak Sherlock Holmes saat mencari seorang pencuri.
Hilman memberi deskripsi itu karena kebanyakan pembaca karyanya adalah pembaca serial Sherlock sehingga memudahkannya memberi gambaran.
Sosok Sherlock tidak hanya menginspirasi pembacanya dari sisi semangat, tetapi juga penampilan.
"Saya suka memakai topi itu karena dulu pengin jadi detektif," kata Tere Pardede (36), penyanyi.
Tere mulai mengoleksi topi pet sejak usia 18 tahun. Ketika berkunjung ke luar negeri, dia menyempatkan diri berburu topi ala Sherlock Holmes ini.
Saat ini, dia mengoleksi tak kurang dari 20 topi dan masih sangat berhasrat mengoleksi lebih banyak lagi.
Topi itu antara lain dia dapat di Berlin, Jerman, Tokyo, hingga Korea.
Dia terobsesi memburu topi itu di daratan Eropa, seperti Polandia, Denmark, Norwegia, dan Finlandia.
Bagi Tere, memakai topi pet itu seperti bisa menyembunyikan diri alias menyamar.
Namun karena dia telanjur dikenal publik kerap memakai topi ini, tak jarang penyamarannya malah gagal.
Denny Sitohang (41), wartawan yang kini membuka kedai kopi di Medan, sejak 20 tahun lalu kerap memakai topi pet terpengaruh aktor film, terutama film mafia Itali. Dia merasa cocok karena terkesan klasik, tapi berkelas.
Adapun Andru Kosti (27) ikut-ikutan memakai topi pet karena ingin mengesankan diri cerdas dan berwibawa.
"Selain itu, gampang dibawa dan kasual, semiformal sekaligus," kata mantan karyawan perusahaan otomotif yang kini menjadi fotografer lepas ini.
Kharis Junandharu, anggota band Silampukau asal Surabaya, kerap tampil dengan topi pet warna cerah.
Begitu juga dengan vokalis band Alexa Aqi Singgih. Drummer kelompok band punk I Made Ari Astina alias Jerinx juga sering kali tampil dengan menggunakan topi pet.
Banyak nama
Di dunia sepak bola, publik mengenal mantan pelatih PSS Sleman Sartono Anwar yang tidak jarang menutupi kepalanya dengan topi pet. Pendukung PSS Sleman mengikuti gaya Anwar ini ketika dia masih aktif.
Topi pet memiliki banyak nama, setidaknya ada 16 nama untuk topi ini di luar negeri sana.
Ada yang menyebut flat cap atau driving cap.Ada juga yang lebih senang menamainya scally cap atau wigens cap.
Tapi di Indonesia, topi ini banyak disebut sebagai topi sutradara atau topi copet.
Sebutan topi pencopet itu layak diduga pengaruh dari novel Oliver Twist karangan Charles Dickens pada 1837 yang kemudian diangkat ke layar lebar pada 2005.
Novel ini mengangkat tokoh seorang anak yatim piatu bernama Oliver Twist yang hidup di Inggris. Untuk bertahan hidup, dia mencopet atas suruhan pimpinan kelompok copet, Fagin.
Dickens menyoroti masalah kekerasan, kemiskinan, dan kelas sosial selama Revolusi Industri di Inggris lewat tokoh Oliver.
Lewat mesin pencari Google, setidaknya terdapat 510.000 hasil pencarian dengan frase kunci "jual topi pet". Itu berarti, topi pet tidak akan segera lengser dari kepala.
Produsen dan pemakainya terus ada meskipun bentuk dan bahannya bisa saja berubah mengikuti selera. (Wartakotalive.com)