Kartel Ayam Jawa Tengah

Kartel Ayam Biasa Permainkan Harga Pakan, Vaksin dan Obat

Menurutnya, menjadi peternak mandiri yang paling berat adalah menghadapi permainan harga pakan, vaksin dan obat

Tribun Jateng
Kartel Ayam 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Menjadi peternak kemitraan (plasma) tidak serta merta menguntungkan meski dijamin oleh perusahaan mitra. Hal itu dirasakan oleh Jono (bukan nama sebenarnya). Ia juga pernah mengalami kerugian.

Ia bercerita sejak awal tahun 2016, perusahaan mitranya tidak memasok sarana produksi ternak (bibit, vaksin dan perawatan) dengan lancar. "Pengaruhnya panennya mundur karena bobot ideal tidak kunjung tercapai," jelasnya, pekan lalu.

Jono berujar pernah berhenti dari kemitraan namun hasilnya malah merugi besar. Ayam berbobot 1 kg harusnya dijual Rp 16 ribu hanya diterima Rp 9 ribu. Ada kerugian Rp 7 ribu per kg. Akhirnya, dengan berat hati, ia pun kembali ke kemitraan.

Menurutnya, menjadi peternak mandiri yang paling berat adalah menghadapi permainan harga pakan, vaksin dan obat. Lain halnya dengan sistem kemitraan yang menjamin ketersediaan tiga hal itu. "Risikonya kemitraan ya DOC (bibit ayam), pakan dan harga jual daging ditentukan perusahaan mitra,” jelasnya.

Terkait adanya kartel ayam, Jono tidak bisa banyak berkomentar. Sebagai peternak plasma ia hanya bisa tunduk pada kontrak kerjasama. Ia melihat kartel ayam adalah persaingan perusahaan mitra besar untuk mematikan peternak mandiri besar hingga perusahaan peternakan skala menengah.

Satu hal yang membuatnya yakin ada kartel ayam adalah informasi harga ayam hidup yang turun Rp 9 ribu per kg di beberapa daerah. Namun, di daerah lain di Jateng harganya masih di kisaran Rp 18 ribu hingga Rp 25 ribuan.

Sekretaris Presidium Perhimpunan Peternak Unggas Indonesia (PPUI) Aswin Pulungan sebelumnya mengungkapkan, Indonesia sedang diterpa 'banjir bandang' pasokan ayam. Akibatnya, para peternak mandiri rugi Rp 72 miliar hingga Rp 75 miliar per minggu. "Harga ayam hidup, jatuh di tingkat peternak," ujar Aswin usai acara diskusi mengenai kartel ayam di Cikini, Jakarta, Senin (7/3) lalu.

Saat ini indukan ayam atau parent stock (PS) melonjak hingga 32 juta ekor. Akibat lonjakan itu, jumlah bibit ayam atau day old chicken (DOC) mencapai 75 juta ekor per minggu. Sementara kebutuhan hanya sekitar 50 juta ekor per minggu. Tingginya jumlah induk ayam itu, menghasilkan sekitar 3,5 miliar bibit ayam selama per tahun. Padahal, kebutuhan bibit ayam setahun hanya 2,6 miliar ekor saja.

Lantaran stok berlebih, Kementerian Pertanian (Kementan) mengambil jalan memusnahkan 6 juta induk ayam. Tujuannya satu yakni membuat harga ayam hidup di tingkat peternak merangkak naik. Ada 12 perusahaan peternakan besar yang digandeng Kementan untuk memusnahkan 6 juta indukan ayam.

Awalnya, Aswin memandang kebijakan itu sebagai langkah tepat. Namun lantaran ada impor grand parent stock (GPS) atau moyang indukan ayam pada 2015, terjadilah kelebihan stok induk ayam. "Penjadwalannya enggak dilihat oleh pemerintah, jadi di saat banjir cutting untuk parent stock sedangkan ini (GPS) masuk, udah masuk ke kandang budidaya makanya inilah akhirnya sekarang banjir bandang," kata dia.

Ketua Peternak Rakyat Mandiri Kadma Wijaya meminta pemerintah untuk mengeluarkan regulasi harga referensi ayam hidup agar tidak terjadi fluktuasi harga. "Diharapkan tidak terjadi lagi banting-bantingan harga live bird," kata Kadma. Saat ini harga ayam hidup di tingkat peternak hanya Rp 10.000-12.000 per ekor. Jauh dari harga pokok produksi (HPP) sebesar Rp 19.000 per ekor.

Anehnya, dari temuan KPPU, keputusan pemusnahan 6 juta induk ayam itu justru membuat harga ayam potong di pasaran melonjak. KPPU menilai kebijakan pemusnahan 6 juta induk ayam sebagai kegiatan kartel. Lembaga pengawas persaingan usaha itu pun menyeret 12 perusahaan peternakan yang terlibat ke pengadilan. (tim)

Sumber: Tribun Jateng
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved