Ngopi Pagi
Mental Korupsi Lebih Canggih
Pemberantasan KKN tidak bisa dilakukan hanya dengan satu sistem. LPSE hanyalah salah satu cara.
Penulis: tri_mulyono | Editor: rustam aji
LELANG pengadaan barang dan jasa secara elektronik (LPSE) proyek pemerintah pusat dan daerah disusupi hacker. Pemerintah perlu terus memperbaiki sistem dan layanan internet jika ingin LPSE efektif. Lebih dari itu kita semua punya tugas besar, yakni membangun mental bangsa agar tidak korupsi, selain terus meningkatkan penegakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektrobik (ITE).
LPSE adalah penyelenggara sistem elektronik pengadaan barang/jasa pemerintah. LPSE sendiri mengoperasikan sistem e-procurement yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Tahun 2004, melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Bappenas, Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian diperintahkan melakukan ujicoba pelaksanaan e-procurement untuk kemudian dipergunakan bersama instansi pemerintah lainnya.
LKPP kemudian mengembangkan LPSE berbasis free license untuk diterapkan seluruh instansi pemerintah di Indonesia. Mulai diterapkan pada tahun 2008 oleh 11 instansi dan tahun 2013, sudah 573 kementerian/lembaga/daerah/instansi yang memiliki LPSE.
Poin penting dari LPSE adalah menghilangkan budaya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) dalam lelang proyek pemerintah yang sudah menggurita sejak lama. Nyatanya, cita-cita mulia itu masih membentur banyak kendala di lapangan. Adanya fenomena kontraktor menyewa hacker untuk mengalahkan pesaing adalah salah satu bukti bahwa sistem elektronik pun ada kelemahannya.
Jadi, pemberantasan KKN tidak bisa dilakukan hanya dengan satu sistem. LPSE hanyalah salah satu cara. Yang terpenting adalah merevolusi mental bangsa agar tidak KKN. Terbukti mental korupsi bahkan lebih canggih dibandingkan sistem canggih seperti pada LPSE.
Di sisi lain, kesuksesan LPSE di negara lain, semisal Singapura dan Korea tidak serta merta bisa efektif di Tanah Air. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 13.000 pulau. Infrastruktur teknologi informasi masih menjadi kendala besar dalam implementasi e-procurement.
Di sebagian besar wilayah, internet masih merupakan barang yang mahal. E-procurement memerlukan bandwith yang cukup besar karena di dalamnya ada proses upload dokumen dengan ukuran beberapa megabyte. Sangat tidak efisien, atau tidak mungkin, jika ada satu server tunggal, di Jakarta misalnya, untuk melayani seluruh instansi di Indonesia. Ada lebih dari 600 instansi di seluruh Indonesia.
Karena itu, pemerintah harus terus memperluas dan memperkuat jaringan internet. Setiap instansi atau pemerintah daerah juga perlu membangun LPSE dan memiliki server sendiri. Langkah yang dilakukan Pemkot Semarang, misalnya, dengan menggandeng kampus, adalah cara baik untuk meningkatkan efektifitas LPSE.
Namun, jangan berhenti di situ saja, pemerintah atau instansi perlu menyewa rekanan khusus untuk terus mengembangkan LPSE. Kalau perlu mempekerjakan progamer secara berkala. Kalau pemerintah cepat puas hanya dengan memiliki LPSE, maka kemungkinan tangan jahil (hacker) turut campur terbuka lebar. Sekali lagi LPSE adalah niat baik pemerintah untuk menekan KKN, namun dalam pelaksanannya tidak akan efektif kalau tidak terus dikembangkan dan diperbaiki. (*)