BERUBAH, Presiden Filipina Duterte Persilakan Indonesia Mengeksekusi Mary Jane
BERUBAH, Presiden Filipina Duterte Persilakan Indonesia Mengeksekusi Mary Jane. Berbeda jauh dengan kebijakan Benigno Aquino.
TRIBUNJATENG.COM - Presiden Joko Widodo menuturkan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah mempersilakan pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi Mary Jane Veloso, salah satu terpidana mati yang eksekusinya ditunda karena diindikasikan merupakan korban perdagangan manusia.
Berbicara kepada wartawan usai melaksanakan salat Idul Adha di Serang, Provinsi Banten, Senin (12/9), Presiden Jokowi menceritakan pertemuannya dengan Duterte saat presiden Filipina itu berkunjung ke Jakarta, 9 September lalu.
“Saya sampaikan tentang Mary Jane dan saya bercerita bahwa Mary Jane itu membawa 2,6 kilogram heroin,” kata Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi kemudian mengisahkan penundaan eksekusi terhadap Mary Jane, Mei 2015 lalu. Akan tetapi, Presiden Duterte justru mempersilakan pemerintah Indonesia untuk mengeksekusi perempuan tersebut. “Presiden Duterte saat itu menyampaikan, ‘silakan kalau mau dieksekusi’,” kata Presiden Jokowi.
Mary Jane urung dieksekusi karena permintaan presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino, menyusul perkembangan bahwa seseorang menyerahkan diri di negara tersebut dan mengklaim Mary Jane hanya sebagai kurir narkoba.
Mary Jane Veloso dijadwalkan dieksekusi bersama delapan terpidana kasus narkoba di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, 29 April 2015 lalu.
Namun, pada menit-menit akhir sebelum pelaksanaan, Mary Jane urung dieksekusi karena permintaan presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino, menyusul perkembangan bahwa seseorang menyerahkan diri di negara tersebut dan mengklaim Mary Jane hanya sebagai kurir narkoba.
Menurut Jaksa Agung HM Prasetyo, pada April 2015, memang benar "ternyata ada fakta-fakta dan indikasi bahwa Mary Jane Veloso adalah korban dari perdagangan manusia".
"Ada orang yang menyerahkan diri kepada polisi Filipina, mengaku bahwa dialah sebenarnya yang merekrut Mary Jane dengan dalih untuk dipekerjakan di Malaysia, namun tiba-tiba dialihkan ke Indonesia, mendarat di Yogya," papar Prasetyo kepada para wartawan dikutip BBC (12/9)
Mary Jane ditangkap di Bandar Udara Adi Sutjipto, Yogyakarta, pada April 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kg heroin. Selanjutnya pada Oktober 2010 ia divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta.
Pembunuhan di luar proses hukum
Selama tujuh pekan terakhir, lebih dari 1.900 orang tewas dibunuh dalam penggerebekan narkoba di Filipina. Kepala kepolisian Filipina, Ronald dela Rosa, menyebutkan jumlah kematian melonjak sejak Rodrigo Duterte menjadi presiden.
Dia mengatakan operasi pemberantasan narkoba yang dilakukan polisi menewaskan sekitar 750 orang, sementara kematian ratusan orang lainnya masih diselidiki penyebabnya.
Di bawah kepemimpinan Rodrigo Duterte, lebih dari 1.900 orang tewas dibunuh dalam penggerebekan narkoba selama tujuh pekan terakhir di Filipina.
Putri Kanesia, dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang terlibat dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penghapusan Hukuman Mati di ASEAN (CADPA), menegaskan, apa yang dilakukan Duterte merupakan bentuk pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killings).
“Bagaimana mungkin pemerintah menyetujui pembunuhan terhadap warga negaranya tanpa melalui pengadilan kendati atas nama pemberantasan narkoba,” kata Putri.
Menurutnya, membunuh tanpa proses peradilan merupakan kebrutalan negara, dan merupakan tindakan pidana.
Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, sudah berlangsung tiga gelombang eksekusi hukuman mati untuk para terpidana kasus narkoba. Menurut para pegiat HAM, sebagian di antaranya merupakan korban proses peradilan yang keliru. Salah satu terpidana mati kasus narkoba adalah warga Filipina, Mary Jane Veloso, yang diyakini sebagai korban yang diperalat sindikat internasional. (*)