OPINI
Satu Desa Satu Perpustakaan
UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yang kemudian menetapkan 8 September sebagai Hari Aksara Internasional (HAI)
OPINI ditulis oleh Kurniawan Adi Santoso, Guru SDN Sidorejo, Sidoarjo
TRIBUNJATENG.COM- Waktu itu, tepatnya 17 November 1965 di Teheran, Iran, berlangsung sidang umum UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yang kemudian menetapkan 8 September sebagai Hari Aksara Internasional (HAI). Dan HAI pun diperingati setiap tahunnya oleh negara-negara yang tergabung dalam UNESCO. HAI dilatarbelakangi masalah penduduk di seluruh dunia, termasuk Indonesia, masih banyak yang buta aksara. Lalu pertanyaannya sekarang, apakah negara kita sudah terbebas dari masalah buta aksara? Bagaimana cara mempercepat pemberantasan buta aksara?
Memang di negara kita masih belum 100 persen bebas dari buta aksara. Akan tetapi secara berangsur-angsur Indonesia, termasuk yang paling cepat mengalami penurunan angka buta aksara. Merujuk data BPS, dalam 10 tahun terakhir (2005-2015), dari sekitar 15 juta orang yang buta huruf, kini tersisa sekitar 4 juta-5 juta jiwa yang buta huruf. Harapannya, angka ini semakin menipis dan puncaknya nol persen atau tidak ada lagi masyarakat yang tidak bisa membaca maupun menulis.
Masih adanya penduduk yang buta huruf, mestinya pemerintah lebih risau. Jika kerisauan itu ada, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk program untuk pemerintah desa. Dengan mewajibkan pemerintah desa untuk membangun perpustakaan bagi warganya. Saya pikir membangun perpustakaan di desa akan jauh bermanfaat ketimbang membangun perpustakaan untuk wakil-wakil rakyat yang ada di Senayan.
Di setiap desa harusnya dibangunkan perpustakaan yang layak. Ini tidaklah sulit. Sebab masing-masing desa sudah mendapat jatah dana dari negara sekitar Rp 1 miliar. Barangkali dengan 10 persen dari dana desa tersebut bisa dialokasikan untuk membangun perpustakaan dan membeli buku-buku yang layak. Yang kemudian setiap warga di desa tersebut berhak menjadi orang yang bisa hingga gemar membaca dan menulis.
Andaikan pemerintah bersedia membangunkan perpustakaan desa untuk warganya, maka dari situ kita bisa mulai memberantas buta aksara dengan cepat. Bahkan tidak hanya sekedar bisa baca-tulis, lebih dari itu perpustakaan desa ikut mendorong masyarakat pada tingkatan “budaya” melek huruf, sebagaimana tingkatan melek huruf Ignas Kleden (2009).
Kleden membagi melek huruf menjadi tiga tingkatan, yakni melek huruf teknis, melek huruf fungsional, serta melek huruf budaya. Melek huruf teknis adalah melek huruf dalam arti paling konvensional, hanya sekadar bisa membaca. orang-orang bisa melafalkan huruf demi huruf, kata, kalimat sampai teks. Seluruh masyarakat bisa dipastikan memiliki keterampilan melek huruf teknis asal mau belajar.
Tingkatan selanjutnya, melek huruf fungsional yaitu melek huruf yang didasari fungsionalitas. Pada tataran melek huruf jenis ini, seorang membaca hanya karena tuntutan pekerjaan, tidak lebih. Misalnya, seorang guru, mau tidak mau ia harus membaca. Biasanya orang-orang pada tingkatan membaca ini hanya sebatas membaca bidang yang ia geluti, yang menjadi tuntutan pekerjaan. Dalam tataran ini, seseorang membaca terbatas terhadap apa yang menjadi kewajibannya.
Tingkatan terakhir, melek huruf budaya. Yaitu melek huruf dalam bingkai budaya. Seseorang mampu membaca, bahkan gemar membaca dengan intensitas yang teramat tinggi. Melek huruf pada tingkatan ini dilandasi akan kebutuhan. Tidak dibatasi tuntutan. Melek huruf budaya biasanya berdasar luasnya minat seseorang pembaca.
Tiga tingkatan membaca tersebut bisa dicapai dengan asumsi perpustakaan desa ada di tiap desa dengan dukungan semua pihak. Sederhananya begini, bangunan perpustakaan yang megah akan menjadi gedung “mati” apabila manusianya tidak mengelolanya dengan optimal. Untuk itu, bila perpustakaan desa sudah ada di masing-masing desa diperlukan strategi pengelolaan yang baik.
Setidaknya ada tiga strategi. Pertama, menjadikan perpustakaan desa sebagai pusat belajar baca-tulis. Di perpustakaan, khusunya masyarakat yang masih buta huruf diajari untuk baca-tulis. Tenaga pengajarnya sukarelawan mulai tenaga pustakawan, guru, tokoh masyarakat, maupun pemuda desa yang tergabung dalam Karang Taruna. Dengan begitu, diharapkan semua masyarakat yang ada di desa tanpa terkecuali punya keterampilan membaca dan menulis.
Biasanya yang menjadi kendala adalah orang-orang yang sudah tua enggan untuk belajar karena malu. Jadi diperlukan pendekatan yang popular agar orang-orang sepuh mau belajar baca-tulis. Misalnya dengan pendekatan pekerjaan. Yang biasanya bekerja sebagai petani, maka materi ajar baca-tulis bisa dikaitkan dengan kegiatan petani dan sebagainya.
Kedua, mensinergikan perpustakaan desa dengan sekolah. Saat ini di sekolah, minat baca sudah mengalami peningkatan signifikan. Kita patut berterima kasih pada mantan Mendikbud Anies Baswedan dalam upaya menumbuhkan minat baca di sekolah. Setiap warga sekolah sudah terbiasa membaca minimal 15 menit sebelum pelajaran dimulai.
Gerakan membaca di sekolah tentunya bisa ditularkan ke masyarakat. Hendaknya setiap RT mewajibkan warganya untuk berkunjung ke perpustakaan desa untuk membaca atau paling tidak meminjam buku untuk dibaca di rumah. Jika mereka memanfaatkan kewajiban itu dengan baik, maka budaya gemar membaca akan tumbuh. Yang pada gilirannya kualitas hidup masyarakat akan jauh lebih baik.
Terakhir, perlu adanya penghargaan dari pemerintah pusat untuk desa yang warganya sudah pada tingkatan budaya membaca. Penghargaan ini penting untuk memberikan motivasi pada masyarakat sekaligus menandakan negara serius untuk urusan pemberantasan buta huruf dan budaya membaca. Begitu!
Akhir kata, alangkah menyenangkannya jika gagasan satu desa satu perpustakaan bisa diwujudkan. Kemudian turut menjadikan warga negara menjadi cerdas karena punya budaya gemar membaca. Sebab bagaimanapun budaya gemar membaca itu teramat penting bagi sebuah bangsa. Terlebih peradaban bangsa yang tinggi akan didapati jika bangsa tersebut punya kebiasaan membaca yang tinggi pula. (tribunjateng/cetak)