Masih Ingat dengan Pria Jago Seks Ini? Setelah Bikin 103 Perempuan Menderita, Kini Dia Dipenjara
Masih Ingat dengan Pria Jago Seks Ini? Setelah Bikin 103 Perempuan Menderita, Kini Dia Dipenjara
TRIBUNJATENG.COM - Eric Aniva pria asal Malawi yang dikenal jago seks akhirnya meringkuk di penjara. Dia telah berhubungan seks dengan ratusan perempuan termasuk gadis-gadis anak bawah umur dan janda-janda. Aksi seksualnya itu sebagai tindakan penyucian, yang diyakini di desa pelosok Malawi, negeri di Afrika.
Dan tragisnya, selama dia berhubungan intim dengan banyak perempuan itu, dia tak pernah pakai alat kontrasepsi atau kondom. Pengadilan setempat menangkap dan menghukumnya karena dia didakwa telah menularkan virus HIV/AIDS. Eric Aniva ditangkap karena menyembunyikan statusnya sebagai penderita HIV.
Eric Aniva ditangkap pada bulan Juli atas perintah presiden setelah mengaku berhubungan seks tanpa kondom dengan gadis-gadis berusia 12 tahun dan menyembunyikan statusnya sebagai penderita HIV positif.
Sebelumnya, Eric dikenal sebagai Hyena yaitu Pria yang dibayar untuk berhubungan seks dengan anak. Aniva mengatakan ia disewa oleh keluarga-keluarga para gadis tersebut untuk mengambil bagian dalam sebuah upacara inisiasi seksual yang mereka yakini bisa 'menyucikan' 'noda' dari masa kanak-kanak menuju masa remaja.
Ketika Presiden Malawi, Peter Mutharika, memerintahkan penangkapan ini, tak ada satupun dari mereka yang datang untuk bersaksi melawannya.
Namun Aniva diadili atas ritual 'penyucian janda' berhubungan seks dengan janda-janda yang baru ditinggal mati suami, yang digambarkan sebagai 'praktek budaya yang berbahaya' menurut UU Kesetaraan Malawi, yang sudah dinyatakan terlarang.

RITUAL ANEH, Keperawanan Gadis-gadis di Desa Ini Harus Diserahkan ke Hyena
Dalam dakwaan ini, akhirnya dua orang perempuan muncul di pengadilan untuk memberikan bukti yang memberatkan Aniva, meskipun salah satunya mengatakan ia berhubungan seks dengannya sebelum praktek itu dilarang, sedangkan yang lainnya mengungkapkan bahwa ia berhasil melarikan diri sebelum peristiwa seksual berlangsung.
"Ritual menyucikan adalah praktik yang sangat dihormati di antara kami," kata seorang pekerja sosial dari Nsanje, kawasan terpencil distrik tenggara tempat Aniva tinggal.
"Kami percaya bahwa jika seorang janda atau duda tidak disucikan secara seksual, maka nasib buruk, kematian mendadak atau sakit akan menimpa sebagian dari mereka, atau semua, dari semua keturunan. Kita wajib melakukan tradisi ini sebagaimana diturunkan oleh nenek moyang kita," tambahnya.
Ia meminta agar namanya tidak disebutkan, karena pegawai-pegawai pemerintahan tidak diperbolehkan untuk berbicara kepada media tanpa izin.
Sampai beberapa tahun yang lalu, praktik melakukan hubungan seks dengan janda yang sedang berduka adalah praktik umum di distrik itu. Biasanya mereka melakukannya dengan seorang laki-laki sebanyak tiga kali dalam semalam dan itu dilakukan sampai tiga atau empat malam.
Seringkali laki-laki yang dipilih adalah keluarga almarhum, tetapi dalam beberapa kasus mereka juga bisa menyewa seseorang dari luar keluarga dekat, seperti Aniva.
Jika yang berduka adalah seorang pria, maka ia harus menemukan seorang perempuan yang akan berhubungan seks dengannya.
Namun, ritual itu diubah, seiring dengan penyebaran HIV, dewasa ini. Jadinya pasangan yang sudah menikah bertindak sebagai pengganti, mereka berhubungan seks atas nama seseorang yang berduka. Seperti sebelumnya, mereka mengucapkan sumpah pada titik ejakulasi untuk mencegah nasib buruk yang timbul dari kematian.
Apa yang membuat orang-orang Malawi takut tentang Aniva, yang mengaku dalam wawancara BBC bahwa ia telah berhubungan seks dengan 104 perempuan dewasa dan anak perempuan, adalah saat ia tidak berhenti melakukan praktik seksual meski tahu bahwa dirinya positif didera HIV.
"HIV adalah pembunuh. Bagaimana bisa seseorang dengan status ini, terus melakukan praktik tersebut? Saya rasa orang ini adalah setan. Rakus dan egois. Jika saya bisa menghakiminya, saya akan mengganjarnya dengan vonis pembunuhan dan penjara seumur hidup," kata seorang pendeta, Paul Mzimu.
Menurutnya, di luar Rumah Sakit Pusat Queen Elizabeth di Blantyre, ada bangsal yang menampung para pasien HIV yang jumlahnya mencapai 70%.
Seorang ibu muda, Memory Lakson juga marah, "Ia positif terjangkit HIV dan kini ia menularkannya kepada perempuan-perempuan yang tidak bersalah. Dia harus mati di penjara."
Ia, seperti kebanyakan orang-orang Malawi lainnya di Blantyre, ibukota ekonomi negara itu, menyatakan kesedihan dan rasa frustrasinya.
Sementara, perempuan lain yang duduk di sampingnya, Mesi Salira berpendapat bahwa orang lain yang melakukan hal sama harus dihukum juga, bukan hanya Aniva.
"Masalah utamanya terletak pada budaya, ini merupakan tindak kejahatan yang dilakukannya dan ia tak boleh lolos, tapi itu akan lebih baik lagi jika ada anggota masyarakat lainnya ditangkap, karena mereka juga melakukan hal yang salah." (*)