Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Forum Mahasiswa

KUPI dalam Dinamika Islam dan Perempuan di Indonesia

Tidak banyak nama yang bisa disebutkan sebagai ulama perempuan yang begitu berpengaruh di Indonesia. Ini setidaknya lebih mending daripada di Timur

DOK. YLBHI
Ilustrasi perempuan Indonesia 

TRIBUNJATENG.COM -- Tidak banyak nama yang bisa disebutkan sebagai ulama perempuan yang begitu berpengaruh di Indonesia. Ini setidaknya lebih mending daripada di Timur Tengah. Berkey pernah menyebutkan bahwa di timur tengah begitu sangat sulit bagi seorang perempuan untuk menjadi ulama. Alasannya pertama, peran perempuan sangat terbatas, yakni cenderung berada pada lingkup domestic sphere (rumah tangga) dan tidak pada public sphere (urusan kemasyarakatan)

Alasan kedua, menurut Berkey, adalah sikap ambivalen orang-orang yang berpengaruh dalam masyarakat, khususnya para ulama (laki-laki) terhadap keterlibatan perempuan dalam dunia keulamaan dan bahkan keilmuan secara umum. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kenyataan bahwa dunia muslim timur tengah adalah dunia dimana laki-laki begitu dominan, dunia dimana tradisi misoginistik terasa begitu kental.

Tetapi, peluang perempuan bukan tidak ada sama sekali. Salah satu sebab bahwa peluang itu ada adalah karena ketegaran perempuan itu sendiri dalam menghadapi lingkungan sosial yang tidak begitu berpihak kepadanya. Serta tuntutan islam terhadap perempuan yang mengharuskannya untuk menuntut ilmu. Meskipun demikian, pada kasus timur tengah tidak hanya perempuan yang mengalami marginalisasi akan tetapi juga laki-laki dari kelas bawah.

Peluang ini tentu berbeda dengan yang dimiliki oleh kaum perempuan di Indonesia. Perempuan muslim indonesia tidak hanya bebas untuk memperoleh hak pendidikan tanpa harus mengalami segregasi (pengucilan) tetapi juga memiliki keleluasaan untuk tampil di hadapan publik. Tidak hanya terbatas pada publik perempuan akan tetapi juga di hadapan publik laki-laki. Rafiqah Darto Wahab misalnya, sebagai qariah dapat tampil di depan publik dengan suaranya yang indah dalam melantunkan ayat-ayat suci al quran, sementara di beberapa wilayah muslim lain perempuan tidak bisa melakukan hal semacam itu.

Jika di Indonesia banyak ulama dan dai-dai perempuan leluasa untuk tampil di televisi dan memberikan ceramah agama, sekali lagi di beberapa negara di timur tengah masih sulit untuk ditemukan. Peluang perempuan di Indonesia untuk semakin merambah berbagai bidang, khususnya bidang keilmuan dan keulamaan jauh lebih besar di banding rekan-rekan di mereka di negara lain.

Jauh sebelum isu feminisme dan kesetaraan gender berkembang di tanah air, kiprah perempuan sudah mulai besar. Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah—menurut Abdul Munir Mulkhan dalam buku Kiai Ahmad Dahlan: jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan—bahkan menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki meskipun dengan tugas yang berbeda.

Sejak awal berdirinya Muhammadiyah, Kiai Dahlan menempatkan perempuan sebagai pilar penting dalam menyangga organisasi. Salah satu buktinya adalah penempatan daftar pendakwah Muhammadiyah yang tidak melulu didominasi oleh kaum lelaki. Tradisi-tradisi ini yang membuat indonesia sampai saat ini mengenal ulama perempuan yang begitu berjasa besar. Dalam ranah ulama kampus kita bisa mengenal Rahnah el Yunusiah, Zakiah Darodjat, dan Tuty Alawiyah. Dalam ranah ulama pesantren kita mengenal nyai Sholihah A Wahid Hasyim, Hajah Hannah dan Hajah Nonoh Hasanah. Dalam ranah organisasi sosial keagamaan kita mengenal ibu Nyai Siti Walidah (ibu Nyai Ahmad Dahlan, Nyai Sholihah A Wahid Hasyim, Suryani Thohir, dan lain sebagainya.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang akan digelar pada tanggal 25-27 April 2017 mendatang seakan menjadi pijakan baru dalam proses reproduksi ulama perempuan di Indonesia. Kongres yang baru pertama kali digelar di Indonesia ini rencananya akan dihelat di Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon, yang dipimpin oleh ibu Nyai Hj. Masriyah Amva. Menurut hemat penulis setidaknya ada tiga alasan penting mengapa KUPI menjadi urgen untuk diselenggarakan.

Pertama, reproduksi ulama perempuan. Ulama perempuan adalah hak dan kebutuhan dalam islam Indonesia. Ulama perempuan memiliki tanggung jawab untuk bekerja keras dalam merespon realitas kehidupan dengan perspektif keadilan gender yang tinggi dan kapasitas keulamaan yang mumpuni. Pemberdayaan perempuan juga tidak lepas dari peran ulama-ulama perempuan di Indonesia.

Kedua, meminimalisasi tradisi misogini dalam hukum islam. Keputusan dalam kongres ulama perempuan dapat menjadi khazanah pemikiran islam baru yang bersih dari tradisi misoginistik. Fatima Mernissi pernah mengangkat isu misogini ini dalam bukunya The Veil and The Male Elite: A Feminist Interpretation Of Women’s Right In Islam. Baginya ada banyak hal dalam islam yang perlu digali kembali. Kemudian dia mencoba mencari penyelesaian atas kerisauannya selama ini atas tradisi misoginistik dalam islam.

Ketiga, menyelesaikan persoalan hukum-hukum fiqh perempuan dengan melibatkan perspektif jender yang adil. Seperti kita ketahui salah satu metode pengambilan hukum yang dijadikan pijakan oleh imam syafii adalah metode istiqro’i atau penelitian survey. Metode ini pernah dilakukan saat menyusun fashl fiqh tentang haidh nifas dan istihadhoh. Seiring perubahan zaman, dalam kacamata medis ada sedikit perubahan mengenai kaidah-kaidah tersebut. Sehingga, hukum-hukum yang demikian ini perlu dilakukan pembaharuan oleh ulama-ulama perempuan sehingga hukum yang muncul menjadi lebih akurat.

M Khoirun Nizam

Pengisi kajian di Kiswah UGM, assesor di Motu Consulting

(*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved