Ngopi Pagi
Malu pada Sunan Kudus
Kisruh antar-wakil rakyat, ternyata tidak hanya terjadi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan. Kejadian hampir serupa, juga terjadi DPRD Kudus
Penulis: rustam aji | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM -- Kisruh antar-wakil rakyat, ternyata tidak hanya terjadi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Senayan. Kejadian hampir serupa, juga terjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kudus. Bedanya, bila polemik di DPD dipicu terkait pengangkatan ketua, sementara di DPRD Kudus dipicu oleh mandeknya perombakan komisi dan alat kelengkapan dewan.
Puncak kisruh, terjadi Kamis (13/4) kemarin. Di mana, sejumlah anggota dewan yang sebelumnya menyatakan mosi tidak percaya kepada para pimpinan, melakukan penyegelan terhadap ruang pimpinan dewan. Penyegelan ini sebagai buntut dari kekecewaan anggota dewan tersebut karena sidang pemilihan guna perombakan komisi dan alat kelengkapan dewan kembali gagal dilakukan disebabkan tak hadirnya para pimpinan dewan.
Ketua Fraksi Nasdem, Superiyanto, yang ikut melakukan penyegelan menyebutkan jika perombakan komisi dan alat kelengkapan, tak dilakukan, maka secara otomatis aktivitas legislatif akan lumpuh. Hal ini, jelas akan berdampak roda pemerintahan di Kudus secara keseluruhan. Mengingat, DPRD kemudian tak bisa melakukan pembahasan APBD maupun kerja-kerja legislasi lainnya.
Membaca fakta tersebut, jelas cukup memprihatinkan. Saya pernah menjadi wartawan di Kudus selama sembilan tahun lebih, sejak 2003 hingga awal 2012. Dan, saya tidak pernah mendapati para anggota dewan dan pimpinannya kisruh sedemikian rupa hingga terjadi mosi tak percaya dan berujung pada penyegelan ruang pimpinan DPRD Kudus.
Kudus yang saya kenal adalah Kudus dengan karakter masyarakatnya yang santun dan penuh toleran terhadap sesama, sebagaimana karakter yang ada pada Sunan Kudus. Karena itu, para wakil rakyat di Kudus, mestinya malu terhadap Sunan Kudus, yang secara turun temurun telah mewariskan karakter saling menghargai dan menghormati antarsesama. Apalagi, sampai memaksakan kehendak untuk memilih atau menempatkan orang yang diinginkannya duduk pada jabatan tertentu. Tentu, itu bukanlah sifat-sifat orang Kudus.
Hal itu jelas mencederai lembaga DPRD Kudus sebagai representasi dari wakil rakyat. Keberadaan para wakil rakyat, jelas tak sekadar mewakili partai saja, tetapi juga sebagai kepanjangan tangan dari rakyat. Namun, bila wakil rakyat sudah mempertontonkan kepemimpinan yang saling sikut dan tak menghargai satu sama lain, kepada siapa lagi rakyat harus berkaca?
Padahal, sebentar lagi, Kota Kretek juga akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Apakah karena ini mereka “berkelahi”? Rasanya kok tidak elok! Lebih-lebih, Kudus juga dikenal sebagai kota santri. Di mana, nilai-nilai agama menjadi pegangan dan prinsip dalam kehidupan bermasyarakat.
Mereka harusnya memberi contoh bagaimana musyawarah untuk mencapai mufakat dipraktikkan dalam lembaga terhormat DPRD Kudus, bukan malah saling “cakar-cakaran”. Rasanya, Sunan Kudus pun akan malu bila melihat ‘anak cucunya’ bertengkar demi hal yang sebenarnya bisa selesai dengan cara-cara sederhana.
Dalam demokrasi, berbeda pendapat adalah hal biasa, tetapi tidak harus sampai berujung pada salaing tidak percaya. Tunjukkanlah cara-cara berdemokrasi yang elegan, tidak memaksakan kehendak dan tetap saling menghormati dan menghargai antara satu dengan yang lain. (*)