Kekerasan Seksual pada Perempuan di Jateng Terhitung Tinggi
Berdasarkan catatan LRC-KJHAM pada tahun 2016 kekerasan terhadap perempuan di Jateng mencapai 496 kasus
Penulis: m nur huda | Editor: Catur waskito Edy
Laporan Wartawan Tribun Jateng, M Nur Huda
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang, mencatat di Jawa Tengah masih banyak terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan. Mayoritas adalah kekerasan seksual.
Koordinator Divisi Data dan Informasi LRC-KJHAM) Semarang, Witi Muntari mengungkapkan, pada peringatan Hari Kartini 21 April 2017 ini, mestinya persoalan ini menjadi perhatian semua pihak.
Berdasarkan catatan LRC-KJHAM pada tahun 2016 kekerasan terhadap perempuan di Jateng mencapai 496 kasus, dengan 871 kasus perempuan menjadi korban dan 784 kasus menjadi pelaku kekerasan.
"Dari 871 perempuan korban kekerasan, sebanyak 700 perempuan atau 80,4 persen perempuan korban mengalami kekerasan seksual, ini angka sangat tinggi," katanya, melalui siaranpersnya, Jumat (21/4/2017).
Sedangkan di awal tahun 2017 terhitung dari Januari sampai Februari, tercatat sudah ada 58 kasus. Antaralain kasus Kekerasan dalam pacaran (KDP) menjadi kasus tertinggi yaitu 19 kasus atau 11,02 persen, kemudian
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu 14 kasus atau 8,2 persen, Perkosaan 12 kasus atau 6,96 persen.
Kemudian Perbudakan Seksual 7 kasus atau 4,06 persen , Buruh Migran 2 kasus atau 1,16 persen, Prostitusi 2 kasus atau 1,16 persen, dan Pelecehan Seksual 2 kasus atau 1,16 persen.
"Jika dilihat dari bentuk kekerasannya, kekerasan seksual masih mendominasi dengan jumlah 72,32 persen atau 64 perempuan korban, kemudian kekerasan fisik 14,69 persen, dan Psikis 9,04 persen," katanya.
Maka, lanjutnya dari data tersebut, pihaknya menyimpulkan bahwa masih tingginya perempuan yang mengalami kekerasan seksual dibandingkan dengan korban yang mengalami kekerasan fisik maupun psikis.
"Sehingga perempuan korban kekerasan seksual membutuhkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Di Hari Kartini ini mestinya semua pihak memerhatikan persoalan ini," tegasnya.
Hari kartini, menurutnya merupakan hari pengakuan perjuangan kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan atas pendidikan dengan mendirikan sekolah kartini. Adanya pengakuan ini diharap bahwa pemenuhan hak-hak perempuan terus ditingkatkan dan tidak hanya di bidang pendidikan.
Berdasarkan pada data BPS tahun 2016 tercatat bahwa perempuan dan laki-laki di wilayah pedesaan lebih rendah akses pendidikannya dibandingkan wilayah perkotaan.
Berdasarkan monitoring LRC-KJHAM, secara umum perempuan yang menjadi korban kekerasan pendidikan terakhirnya tingkat SMA sederajat, walaupun terdapat juga perempuan yang mempunyai pendidikan lebih tinggi misalnya S1 sederajat.
Artinya, meski perempuan mempunyai pendidikan tinggi tak menjamin tidak menjadi korban kekerasan. Hal ini disebabkan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan masih sangat kuat sehingga masih terjadi diskriminasi terhadap perempuan salah satunya kekerasan terhadap perempuan.
"Di sisi lain, tidak sebanding dengan perlindungan hukum yang ada di Indonesia. Perempuan korban kekerasan seksual masih mengalami banyak hambatan dan tantangan dalam mendapatkan hak-haknya," katanya.
Ia menambahkan, tak hanya perlu ada undang-undang khusus yang melindungi perempuan korban kekerasan seksual. pihaknya juga mendesak pemerintah segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.(*)