Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

HTI Galang Dukungan DPR untuk Tolak Perpu 2/2017

DPR telah menerima Perppu No. 2/2017 tentang Ormas yang memungkinkan pemerintah membubarkan ormas yang bertentangan dari Pancasila dan UUD 1945

Editor: bakti buwono budiasto
KOMPAS.com/Kristian Erdianto
Juru Bicara HTI Ismail Yusanto saat memberikan keterangan pers terkait pembentukan Tim Pembela HTI di kantor hukum Yusril Ihza Mahendra, Jakarta Selatan, Selasa (23/5/2017). Tim pembela tersebut dibentuk untuk menghadapi gugatan pembubaran oleh pemerintah di pengadilan. 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - DPR telah menerima Perppu No. 2/2017 tentang Ormas yang memungkinkan pemerintah membubarkan ormas yang bertentangan dari Pancasila dan UUD 1945.

Bila DPR setuju, Perppu itu bakal menjadi Undang-undang.

Tetapi jika DPR tidak setuju, UU No. 17/2013 tentang Ormas akan berlaku kembali.

"Apakah Perppu akan berlaku terus atau tidak tentunya persetujuan dewan. Kalau disetujui DPR, Perppu itu langsung jadi UU. Kalau tidak disetujui UU kembali ke UU 17 tahun 2013," kata Wakil Ketua DPR, Agus Hermanto, di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (13/7).

Menurut dia, DPR akan memproses perppu itu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Surat pengantar perppu itu akan dibacakan dalam rapat paripurna.

Selanjutnya, perppu itu akan diproses dalam jangka waktu satu kali masa sidang.

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto mengatakan, pihaknya sudah berkomunikasi dengan anggota Dewan yang menolak Perppu Ormas.

Hal itu dilakukan HTI untuk menggalang dukungan di kalangan anggota DPR agar menolak perppu.

"Sejauh ini kami sudah ada komunikasi dengan beberapa anggota DPR, meminta tanggapannya tentang perppu ini, misalnya Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang dengan tegas mengatakan menolak. Begitu pula Fahri Hamzah," kata Ismail saat memberikan keterangan pers di kantor HTI, Jakarta Selatan, Rabu (13/7) malam.

Ismail mengatakan, HTI juga akan mengintensifkan komunikasi dengan anggota DPR lain.

"Kami berharap semakin banyak anggota DPR yang menolak Perppu itu setelah mengetahui detail isinya bahwa sesungguhnya sangat berbahaya bukan hanya dalam konteks seperti ini tetapi juga dalam konteks berserikat dan berpendapat," ujarnya.

HTI masih akan memfokuskan diri terhadap pengajuan uji materiil terhadap Perppu di Mahkamah Konstitusi (MK). Rencananya, gugatan itu akan diajukan Senin 17 Juli. "Kami punya agenda mengajukan gugatan ke MK," paparnya.

Terpisah, Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, Perppu Ormas rentan kalah di MK.

Julius mengakui PBHI tengah menyusun materi gugatan untuk uji materi atau judicial review (JR) Perppu Ormas ke MK.

Rencananya, PBHI akan bersama-sama kelompok masyarakat sipil lain dalam mengajukan gugatan itu. Julius menjelaskan, landasan yang digunakan untuk menerbitkan Perppu Ormas tidak tepat.

Menurut dia, asas yang digunakan untuk menerbitkan Perppu Ormas adalah asas untuk contrarius actus, artinya badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara, maka badan atau pejabat itu berwenang membatalkan kebijakan yang dikeluarkannya.

Julius menilai tidak tepat penerapan asas contrarius actus dalam Perppu Ormas.

Pasalnya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah adalah pengesahan ormas, yang artinya melibatkan pihak ketiga di luar pemerintah yakni ormas itu sendiri.

"Kalau urusan pemerintah sendiri tidak apa-apa, tapi ini kan urusannya dengan pihak eksternal, forumnya (harus-Red) ajudikasi," terangnya.

Penyelesaian melalui ajudikasi, sudah diatur baik dalam UU No. 17/2013 tentang Ormas.

Di dalam UU itu, setiap ormas diberi kesempatan memberikan hak jawab dan pencabutan pengesahan ormas diselesaikan melalui jalur persidangan.

Penyelesaian melalui ajudikasi tidak ada lagi di Perppu Ormas.

Menurut perppu itu, terhadap ormas yang akan dibubarkan pemerintah wajib memberikan satu kali surat peringatan.

Jika belum ada penyelesaian, proses selanjutanya adalah peringatan untuk menghentikan kegiatan.

Setelah itu, pemerintah bisa langsung mencabut pengesahan ormas tanpa jalur persidangan.

"Ini absolutisme kekuasaan eksekutif, di mana pemerintah bisa menafsirkan sendiri, itu jelas salah, jelas itu abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan-Red)," tandasnya.

Di negara demokrasi seperti Indonesia, Julius berujar, kekuasaan dibagi tiga yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Sementara dalam Perppu Ormas, pemerintah seperti tidak menghargai norma itu karena kewenangan pencabutan izin ormas dimonopoli di tangan pemerintah.

"Ini yang bertentangan dengan demokrasi, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," tukasnya.

Julius menilai, Perppu Ormas tidak memenuhi syarat penerbitan perppu, yaitu terjadi kegentingan yang mendesak dan kekosongan hukum. Sejak isu perppu sampai saat ini, tidak ada ketidakstabilan dan juga tidak ada kekosongan hukum. (tribunjateng/cetak/Tribunnews/fer/aji)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved