OPINI
Meme Politik Mulai Terusik
Opini ditulis oleh Aminuddin, Analis Politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED). Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Opini ditulis oleh Aminuddin, Analis Politik pada Literasi Politik dan Edukasi untuk Demokrasi (LPED). Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Penetrasi Internet telah merubah cara pandang masyarakat dalam berdemokrasi. Bentuk ucapan ataupun kritik terhadap pemerintah tidak lagi menotonseperti yang diekspresikan dalam aksi jalanan. Melainkan dilakukan dengan segudang cara. Cara yang paling menonjol dalam mengkritisi pemerintah ataupun pejabat publik lainnya dengan meme.
Meme menjadi salah satu alternatif mengingat pesannya yang satir, jenaka, dan cukup menggelitik.Tidak heran, meme menjadi bagian integral yang mampu membuat kuping panas.Inilah sebabnya mengapa dalam dunia politik, meme kerap kali muncul sebagai bagian dari sikap kritis yang murah meriah.
Sebagai salah satu bentuk kritik dalam demokrasi, meme politik juga bisa menjadi salah satu alternatif bagi publik untuk mengkritisi serta mengevaluasi pemerintah.Meme politik juga menjadi penanda baru transformasi demokrasi konvensional ke digital.Pada situs-situs media sosial populer seperti facebook, twitter, Instagram, WhatApps, dan lain sejenisnya, meme politik menjadi ikonik terutama di kalangan anak muda.Tak plak, meme politik seolah menjadi kaca pembesar perilaku elit politik.
Namun akhir-akhir ini, keberadaan meme politik mulai terusik. Hal ini tidak lepas dari penangkapan dan penetapan Dyan Kemala Arrizzqi sebagai tersangka dugaan pencemaran nama baik ketua DPR sekaligus Ketua umum Golkar, Setya Novanto. Ketika itu, meme politik yang tersebar di media maya merupakan foto SetyaNovantoyang lagi sakit.Alih-alih menjadi kritik satir, justru meme tersebut menyeret politisi PSI tersebut ke meja hijau.
Dalam khazanah politik digital yang tanpa batas ini, kita memang tidak dapat memastikan apakah meme politik merupakan bagian dari proses pendewasaan demokrasi atau sebaliknya. Pasalnya, meme politik kerap dianggap sebagai bagian dari penghinaan terhadap siapapun yang dijadikan objek, termasuk pemerintah dan politisi. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap bahwa meme politik sudah menjadi hal yang wajar adanya. Terlebih lagi ia adalah tokoh ataupun publik figur. Begitupun dengan penyelenggara negara. Sebagai penyelenggara negara, meme akan menjadi hal yang niscaya.
Kita sangat mudah melihat meme politisi dan pejabat negara di internet. Sebagai contoh, ketika Presiden Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta ketika itu) akan maju menjadi calon presiden Republik Indonesia, meme politik menyebar luas. Begitupun dengan mantan Presiden Soeharto yang hingga kini, meme-nya dikenal dengan kalimat “piyekabare?Penakjamanku, to?”.Tidak hanya itu, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun tidak luput dari meme politik.Meme SBY menyebar luas ketika pengambilan keputusan pemilihan kepala daerah harus dipilih oleh DPR.
Terlepas dari itu semua, meme dalam demokrasi belum mendapatkan tempat. Meme politik masih dianggap tabu dan membahayakan bagi proses demokrasi. Eksistensinya yang mampu menjangkau hingga ke pelosok negeri, meme politik menjadi semacam virus bagi orang yang dikritisi. Pada akhirnya, meme politik dianggap sebagai bagian dari fitnah yang keji dan menyerang.
Terkait dengan hal inilah, ada beberapa hal mengapa meme politik belum bisa menempatkan diri sebagai bagian dari proses demokrasi. Pertama, publik belum bisa menerima atau bahkan mengaplikasikan proses demokrasi seutuhnya. Artinya, segala bentuk yang berhubungan dengan demokrasi, entah itu kritis, masih dianggap tabu. Sehingga, demokrasi yang ada saat ini tidak lebih sebagai demokrasi dalam prosesmenyeleksi pemimpin. Demokrasi hanya bertumpu kepada proses kontestasi. Sedangkan cabang demokrasi seperti kampanye yang damai, aman, mengharamkan politik uang, tanpa kekerasan dan kebencian masih belum dilakukan secara maksimal.Bahkan tidak jarang perilaku yangmengotori demokrasi seperti politik uang, kampanye SARA dilakukan.
Kedua, masih menguatnya anti-demokrasi yang menamakan diri sebagai bagian dari demokrasi.Proses anti-demokrasi ini biasanya ditularkan kepada dengan provokasi politik digital. Aktivitas ini juga dilakukan oleh masyarakat yang anti demokrasi, namun mereka melek terhadap politik digital.Maka, provokasi anti demokrasi disalurkan melalui media pula sebagai upaya untuk menandingi penetrasi politik digital pro demokrasi.Ketiga, regulasi atau peraturan negara (Juniarto, 2016).Dalam konteks regulasi negara, publik masih gagap menempatkan aktivitas kritik dan penghinaan.Dalam posisi inilah, kritik dan penghinaan tercampur.Pada akhirnya, kritik dianggap penghinaan.Begitupun sebaliknya!
Publik akan sulit menempatkan aktivitas kritis di era digital apabila akhirnya harus berurusan dengan meja hijau. Begitupun sebaliknya, publik juga sulit membedakan mana yang kritis dan mana yang mengandung kebencian.Oleh sebab itu, sangat penting kiranya regulasi yang secara spesifik dalam mendefinisikan antara aktivitas kritik dan penghinaan.Dengan begitu, publik tidak lagi terjebak, yang akhirnya berurusan dengan hukum akibat kecerobohan dalam ekspresi di dunia digital. (tribunjateng/cetak)