Opini
Perlukah Impor Beras?
Perlukah Impor Beras?. Opini ditulis oleh Hendrawan Toni Taruno, S.ST, MA / Statistisi BPS Kabupaten Kendal (di Amerika Serikat)
Opini ditulis oleh Hendrawan Toni Taruno, S.ST, MA / Statistisi BPS Kabupaten Kendal (sementara tinggal di Amerika Serikat)
TRIBUNJATENG.COM - Akhirnya, Pemerintah resmi akan melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton pada akhir Januari ini. Keputusan itu disampaikan oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita di Kantornya pada Kamis (11/1/2018). Menurutnya, kebijakan impor beras tersebut dilakukan untuk mengatasi permasalahan lonjakan harga beras dan pasokan beras yang sedang menurun (Kompas, 11/1/2018).
Banyak kalangan menilai bahwa langkah Pemerintah tersebut tidak tepat, mengingat pada bulan Januari sampai Maret ini, Indonesia akan memasuki musim panen raya. Oleh karenanya, keputusan melakukan impor beras justru dikhawatirkan akan merugikan petani karena akan menekan harga gabah ketika musim panen tiba.
Data yang (tidak) akurat?
Selain karena alasan musim panen raya yang sudah dekat, keputusan Pemerintah yang akan melakukan impor beras ini tentu menyisakan pertanyaan yang serius. Mengapa Pemerintah bersikeras melakukan impor? Apakah cadangan beras kita benar-benar sudah tidak mencukupi untuk 1-2 bulan ke depan?
Meskipun sejak 2016 Badan Pusat Statistik (BPS) tidak merilis angka produktivitas padi dan palawija, namun bukan berarti bahwa perkiraan produksi padi tidak bisa dilakukan.
Dengan mengasumsikan luas panen dan provitas padi tidak berubah sebagaimana yang terjadi pada tahun 2015 (luas panen 14,1 juta hektar dan provitas 53,41 kuintal/hektar), maka jumlah produksi padi pada tahun 2017 juga diperkirakan mencapai 75,39 juta ton gabah kering giling (GKG) atau sekitar 42 juta ton beras (konversi rendeman 0,57).
Oleh karena itu, dengan berpedoman pada angka konsumsi beras 113 kg/kapita/tahun (BKP,2012), maka total konsumsi beras untuk sekitar 260 juta penduduk Indonesia, diperkirakan sebesar 29,3 juta ton. Artinya, masih ada surplus sekitar 13 juta ton beras pada tahun 2017. Surplus 13 juta ton beras ini setidaknya masih cukup untuk cadangan selama 5 bulan kedepan. Tetapi, mengapa Pemerintah tetap melakukan impor?

Keputusan Pemerintah melakukan impor beras ini seolah memperkuat dugaan bahwa data yang dipakai selama ini tidak akurat.Banyak kalangan yang meragukan data tanaman pangan yang selama ini di rilis oleh Pemerintah. Mereka beranggapan bahwa data yang selama ini dipakai Pemerintah, tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya. Bustanul Arifin misalnya, seorang pengamat ekonomi pertanian yang juga Guru Besar Universitas Lampung pernah memberikan catatan kritis atas polemik data tanaman pangan yang terjadi. Dalam catatannya, ia menyatakan bahwa data yang dikeluarkan oleh Pemerintah, ditengarai overestimate 9-10 persen.Akibatnya, terjadi ketidaksinkronan antara data dengan kebijakan yang diambil oleh Pemerintah.
Metode KSA: upaya perbaikan
Pemerintah menyadari bahwa pokok persoalan data produksi tanaman padi dan palawija ini adalah data luas panen yang tidak akurat. Selama ini, data luas panen yang digunakan untuk menghitung produksi padi dan palawija diperolehdengan metode eye estimateyang cenderung subjektif.
Akibatnya, data yang peroleh cenderung bias dan sarat kepentingan. Oleh karenanya, pada tahun 2018 ini, Kementerian Pertanian, BPS, dan Badan Pengkaji dan Penerapatan Teknologi (BPPT) akhirnya melakukan perbaikan metodologipenghitungan luas panen dengan menggunakan metode Kerangka Sampling Area (KSA). KSA merupakan metode estimasi luas panen dengan menggunakan bantuan teknologi informasi berupa foto udara atau citra satelit yang diamati menggunakan alat komunikasi berbasis Android.
Meskipun menghasilkan data luas panen yang lebih rendah, namun penggunaan metode baru ini diyakini lebih akurat dan objektif. Hasil ujicoba di Kabupaten Indramayu (2016) memperlihatkan adanya selisih luas panen yang cukup signifikan. Dengan metode KSA, angka luas panen tercatat sebesar 183.000 hektar. Sedangkan dengan metode lama (yang selama ini digunakan) tercatat sebesar 201.200 hektar. Hal ini berarti telah terjadi penurunan luas panen mencapai 18 ribu hektar atau sekitar 9 persen.
Oleh karena itu, dengan mengasumsikan rata-rata perbaikan (pengurangan) data luas panen sebesar 9 persen, maka luas panen 2018 diperkirakan akan berkurang menjadi sekitar 12,8 juta hektar. Dengan asumsi provitas yang juga sama (53,41kuintal/hektare), maka produksi padi pada tahun 2018 diperkirakan akan mencapai 68,6 juta ton GKG. Dengan perhitungan yang sama, maka produksi beras pada tahun 2018 diperkirakan akan mencapai 39 juta ton beras atau mengalami surplus sekitar 9 juta ton. Surplus ini menjadi pertanda bahwa Indonesia juga akan tetap mengalami swasembada beras sebagaimana yang telah terjadi pada tahun 2016. Jadi, ketika data produksi sudah akurat, masih perlukah Pemerintah melakukan impor? (tribunjateng/cetak)