Rieke Persoalkan Kasus Bulog Semarang, Apa Nggak Punya Uang?
Komisi VI DPR RI mencecar pemerintah terkait keputusan untuk membuka keran impor beras sebanyak 500.000 ton di awal 2018 ini.
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Komisi VI DPR RI mencecar pemerintah terkait keputusan untuk membuka keran impor beras sebanyak 500.000 ton di awal 2018 ini.
Para anggota dewan melempar pertanyaan ke Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita dan Dirut Bulog, Djarot Kusumayakti, antara lain soal lokasi pendistribusian impor nantinya, kemampuan keuangan Bulog, hingga soal sinkronisasi data dari Kementerian Pertanian.
Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mempertanyakan kemampuan keuangan. Sebab kata Rieke, Bulog tercatat belum memberikan dividen sejak tahun 2015 dan memiliki hutang sebesar Rp 300 miliar.
"Jadi betul Bulog tidak punya uang? Karena sampai sekarang belum memberikan dividen," tanya Rieke dalam rapat kerja di Komplek Parlemen, Jakarta, Kamis (18/1).

Selain itu, Rieke mengatakan Bulog beberapa kali sempat terkena kasus, contohnya pada tahun 2016 dimana Subdivre Semarang melakukan penyelewengan beras senilai Rp 6,3 miliar.
“Subdivre Semarang terjadi penyelewengan beras dengan kerugian Rp 6,3 miliar, mantan kepala Bulog baru Semarang korupsi kasus stok beras, juru timbang gudang Bulog Semarang gelapkan Rp 6 miliar, kepala Bulog Lahat oplos beras. Bahkan Djarot, Direktur Utama Bulog sebagai saksi suap kasus penambahan kuota gula impor,” kata Rieke.
"Kalau kondisi Bulog seperti ini, saya kira ini untuk perhatian kita, yang jadi pangkal persoalan adalah ini perlu impor atau tidak. Mari kita lihat apakah beras ada atau tidak?" ujarnya.
Menurutnya pada 7 Desember stok beras bulog 1,1 juta ton aman sampai April 2018. “Stok pas-pasan apa memang solusinya impor? Atau ada persoalan tata niaga di Bulog yang salah, yang harus kita benahi,” katanya.
Selain itu, kata Rieke, bila diputuskan untuk impor saat ini maka membutuhkan proses yang memakan waktu satu sampai dua bulan. Artinya, kata Rieke, beras impor baru akan datang pada Februari bahkan April. Tidak bisa langsung datang beras tersebut.
"Dua tahun pemerintahan Jokowi (Presiden Joko Widodo) tidak impor beras. Lalu sekarang tiba-tiba impor, ada apa sebetulnya? Kami dari PDIP juga belum pernah mendengar statemen langsung dari Bapak Jokowi untuk meminta impor beras dalam kondisi jelang panen raya ini," tegasnya.
Selain Rieke, anggota Komisi VI lainnya Djoni Rolindrawan mempertanyakan bagaimana nantinya upaya distribusi di pelabuhan. Artinya, 500.000 ton beras impor tersebut akan didistribusikan ke mana saja.
"Berapa destinasi pelabuhan nanti untuk pemerataan stok ini 500.000 ton? Apa sudah ditentukan sebelumnya atau nanti?" kata Djoni.
Anggota Komisi VI lainnya, Abdul Wahid, mempertanyakan sinkronisasi data yang dimiliki Kementerian Pertanian (Kementan) terkait dengan stok beras yang ada. Dia menyebut, bahwa Kementan selalu mengklaim stok beras yang dimiliki saat ini berlimpah. Namun kenapa Kemendag harus melakukan impor.
"Masalah terkait neraca, tidak punya neraca beras. Ada simpang siur antara Kemendag dan Kementan. Akibat statement Menteri Pertanian, sebenarnya ada masalah harga. Contoh data Kementan tidak akurat Harus ada rapat gabungan," tanyanya tegas.