Focus
Hanya Tiga yang Tak Mungkin
Ongkos Pilkada di Indonesia sangat tinggi. Ambil contoh di Jateng, untuk biaya saksi saja, miliaran rupiah harus digelontorkan
Penulis: galih pujo asmoro | Editor: muslimah
BIAYA atau ongkos politik menjadi seorang kepala daerah tidaklah murah. Tak sedikit yang kemudian terjerat kasus korupsi dalam memenuhi kebutuhan ongkos politik mereka. Hal itu karena mereka melakukannnya dengan perbuatan atau cara-cara yang melawan hukum.
Sebut saja Bupati Subang Imas Aryuminingsih yang harus berurusan dengan KPK lantaran menerima suap yang diduga sebagian di antara duit itu didgunakan untuk kepentingan kampanye.
Yang paling anyar adalah temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dijumpai 1.119 transaksi mencurigakan yang terdiri dari 53 transaksi melalu perbankan dan sisanya transaksi tunai.
Diakui maupun tidak biaya Pilkada tidaklah murah. Jangankan untuk jadi bupati/wali kota atau gubernur, jadi kepala desa saja, ada orang yang rela merogoh koceknya hingga ratusan juta. Lantas berapa untuk jadi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota ataupun provinsi? Tentu jauh lebih besar dibanding jadi kepala desa.
Tidak mengherankan jika ongkos Pilkada di Indonesia sangat tinggi. Ambil contoh di Jateng, untuk biaya saksi saja, miliaran rupiah harus digelontorkan.
Pada pemilihan gubernur tahun ini, ada lebih dari 64 ribu Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jika dirata-rata ada dua saksi di tiap TPS dan uang saku per orang Rp 100 ribu, artinya biaya harus ada duit hampir Rp 13 miliar. Belum lagi mereka harus menjalani pelatihan yang tentu juga harus ada biaya.
Dalam sebuah video yang sempat viral beberapa waktu lalu, Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto menyebut, setidaknya untuk jadi gubernur butuh Rp 300 miliar. Itupun dikatakannya "pahe" alias paket hemat.
Di satu sisi, pernyataan Prabowo itu harus diapresiasi karena ia berani mengungkapkan sebuah kebenaran yang selama ini "terselubung". Namun di sisi lain, betapa untuk jadi pemimpin daerah, butuh modal sangat besar. Sementara subsidi pemerintah untuk partai politik juga masih rendah, Rp 1.200 per suara. Padahal, berdasarkan kajian KPK, dana untuk parpol setidaknya Rp 10 ribu per suara.
Apakah biaya politik di Indonesia akan terus menerus mahal? Tentu saja tidak. Meskipun berat, menurut seorang teman dalam kelakarnya, hanya ada tiga hal yang tak mungkin di dunia ini yakni menghidupkan orang mati, menghamili laki-laki dan makan kepala sendiri. Jadi, menekan cost politik di Indonesia sangatlah mungkin.
Politik transaksional bisa terjadi jika dua pihak, pemberi dan penerima atau yang diminta dan meminta sepakat. Jika tidak ada kesepekatan, tentu tidak akan pernah ada politik transaksional. Untuk menuju ke sana, tentunya politisi dan masyarakat sama-sama berusaha. Jangan pernah ingin memberi agar "jadi" dan jangan pernah berharap atau minta untuk diberi agar memilih.
Kesadaran politik masyarakat harus dibangun. Demikian juga dengan politisi yang nyalon jangan pernah merasa "kasihan" atau "ewuh" pada rakyat yang akan memilih Anda jika mereka "meminta". Dan masyarakat, pilihlah para calon kepala daerah itu berdasarkan program kerja dan track recordnya. Sekali Anda memberi atau menerima, rantai transaksional dalam politik Indonesia akan terus berlanjut. (*)