FOCUS
Tak Ingin Seperti 2014
Pelan tapi pasti, semangat perlombaan politik yang pernah terjadi pada pilpres 2014 kembali menghangat.
Penulis: Erwin Ardian | Editor: iswidodo
Tajuk ditulis oleh wartawan Tribun Jateng, Erwin Ardian
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pelan tapi pasti, semangat perlombaan politik yang pernah terjadi pada pilpres 2014 kembali menghangat.
Seiring dengan munculnya nama-nama yang diusung oleh partai menjadi calon presiden, aroma persaingan itu mulai muncul.
Terasa seperti baru kemarin, ketika persaingan antara dua kubu capres kala itu, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto terbawa hingga ke sendi-sendi terdalam kehidupan bangsa ini.
Ajang pemilihan presiden (pilpres) yang seharusnya menjadi pesta demokrasi yang layak dinikmati, seolah menjadi pemicu perpecahan. Pertarungan satu lawan satu, membuat bangsa ini seperti terbelah dua.
Terlepas dari satu kubu yang akhirnya menjadi pemenang dalam perhelatan lima tahunan, tak dipungkiri, dampak dari perbedaan pilihan masih membekas. Setelah empat tahun pemerintahan Jokowi berjalan, kubu-kubuan Jokowi atau Prabowo, masih terus ada.
Pilpres 2014 juga menjadi penanda makin pentingnya peran media sosial dalam menanamkan pengaruh di ranah politik. Ketatnya persaingan dua kubu pada Pilpres 2014 justru lebih terlihat di dunia maya. Namun bukan berarti tajamnya perbedaan di dunia maya tak berdampak besar. Meruncingnya perdebatan di media sosial itulah yang sulit diselesaikan.
Kini setelah dua capres yang bertanding di Pilpres 2014 kembali memberi sinyal kuat untuk maju lagi, tanda-tanda ‘perang’ akan terulang lagi mulai tampak nyata. Beberapa kejadian positif dan negatif terkait kedua tokoh ini semakin kencang terdengar.
Ada upaya-upaya memviralkan kejadian seputar kegiatan dua orang yang disebut-sebut menjadi bakal capres. Sayangnya, seolah lupa dengan pengalaman buruk yang pernah terjadi, upaya kampanye hitam mulai terlihat.
Meski runcingnya perbedaan dua kubu ternyata tak memberi pengaruh yang besar terhadap jalannya pemerintahan, bukan berarti hal seperti itu bisa dianggap enteng. Fakta menyatakan, ‘perang’ di media sosial bisa berlanjut ke dunia nyata dan berujung pada perpecahan yang nyata.
Beberapa negara di Timur Tengah telah merasakan dampaknya hingga terjadinya pertumpahan darah dan perpecahan sebuiah negara yang berawal dari media sosial. Akankah kita ingin seperti itu?
Ada potensi persaingan menuju kursi RI 1 yang terjadi pada 2014 akan terulang tahun depan. Jika kita tak mengantisipasi potensi perpecahan, bukan hal mustahil apa yang terjadi pada 2014 lalu akan berulang lagi, bahkan menjadi lebih dahsyat.
Perpecahan, apapun bentuknya tentu menjadi harga yang cukup mahal untuk sekadar memilih pemimpin negeri. Bukankah tujuan memilih pemimpin adalah membuat negeri ini menjadi lebih baik? Kalau hasilnya justru perpecahan, apakah tidak lebih baik pemilihan dilakukan dengan cara diundi saja? Mari kita bersama-sama menciptakan pesta demokrasi yang meriah tanpa perpecahan. (tribunjateng/cetak/ear)