OPINI
Bencana (Berkah?) Sumur Minyak Ilegal
Bencana (Berkah?) Sumur Minyak Ilegal. Opini ditulis oleh DR Nugroho Trisnu Brata, M.Hum, Dosen Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial, Unnes
Opini ditulis oleh DR Nugroho Trisnu Brata, M.Hum, Dosen Antropologi di Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Masyarakat Indonesia tiba-tiba dikejutkan oleh terjadinya kebakaran sumur minyak ilegal yang terjadi di Desa Pasir Putih, Kecamatan Rantau Peureulak, Kabupaten Aceh Timur pada Rabu 24 April 2018. Api membakar minyak mentah yang menyembur dari sumur tradisional kemudian meledak dan membakar harta benda serta menelan 22 korban jiwa. Peristiwa serupa pernah terjadi di pertambangan minyak rakyat Dangilo-Wonocolo di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur tahun 2006.
Tragedi ini membuka mata kita bahwa sumur-sumur ilegal di area pertambangan minyak rakyat (PMR) dapat menjadi bencana. Perhatian kita tentang tambang minyak selama ini lebih terfokus pada pertambangan minyak skala besar, oleh perusahaan-perusahaan besar, tetapi menafikkan pertambangan minyak skala kecil. Clive Aspinall seorang ahli sosial-pertambangan rakyat pun tidak melihat PMR sebagai aspek penting dalam kajiannya.
Di Indonesia meskipun terdapat ribuan sumur tua yang berada di dalam lapangan-lapangan minyak, akan tetapi karena keterbatasan kemampuan masyarakat dalam menambang minyak maka hingga saat ini baru terdapat empat lapangan PMR yang memanfaatkan sumur-sumur tua peningggalan zaman Belanda secara masif. Lapangan PMR itu adalah; (1)Lapangan PMR Dangilo-Wonocolo di Kabupaten Bojonegoro. (2) Lapangan Ledok di Kabupaten Blora. (3) Lapangan PMR Desa Sungai Angit, di Kecamatan Babat Toman, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. (4) Lapangan PMR Desa Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Menurut Clive Aspinall (2001:5-6) terdapat empat sektor utama dalam pertambangan skala kecil yaitu: tambang emas, tambang intan, tambang batu bara, dan tambang timah. Empat sektor pertambangan skala kecil itu banyak tersebar di berbagai daerah di Indonesia.
Istilah pertambangan rakyat (people mining, atau artisanal mining) pertama kali dipopulerkan di Indonesia melalui dekrit yang dikeluarkan Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Karakter pertambangan rakyat yang dimaksud di dalam Dekrit Presiden RI tersebut yaitu; bukan pertambangan komersial, bukan oleh operator komersial, dengan cara tradisional, untuk mencukupi kebutuhan pangan, di dalam area khusus seperti pertambangan emas dan intan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Mengapa PMR disebut sebagai aktivitas ilegal? Karena aktivitas PMR tidak mendapat ijin dari pihak yang berwenang. Aktivitas ilegal itu artinya aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan masyarakat dibiarkan tetap berlangsung oleh aparat pemerintah, meskipun aktivitas tersebut tidak mendapati izin dari pihak yang memiliki otoritas atau wewenang yaitu Pertamina dan Kementerian ESDM.
Aktivitas ilegal termasuk kategori kriminal. Berbeda dengan aktivitas informal (mis. pedagang kaki lima) yang bersifat non-kriminal. Ada beberapa alasan sehingga terjadi “pembiaran” oleh negara terhadap aktivitas ilegal yang dilakukan oleh masyarakat penambang, bisa jadi karena alasan ekonomi, alasan kemanusiaan, alasan keamanan, alasan politik, atau karena adanya persekongkolan, pungutan liar dan korupsi yang dilakukan oleh aparat yang berwenang.
Sebenarnya PMR sudah memiliki aturan baku yang menjadi payung hukum aktivitas ini. Istilah yang baku adalah pertambangan, terdapat dalam (1) PERPU No.37 Tahun 1960 Tentang Pertambangan, (2) PP No.32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan UU No.11 Tahun 1969 Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, dan (3) dalam Peraturan Menteri ESDM No1 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak bumi pada Sumur Tua.
Solusi tentang pertambangan rakyat ini penting dilakukan karena fenomena pertambangan rakyat seperti kasus Gunung Pongkor di Bogor Jawa Barat (tambang emas), kasus Gunung Botak di Pulau Buru Maluku (tambang emas), dan kematian Salim Kancil di Selok Awar-awar, Lumajang, Jawa Timur (tambang pasir) memperlihatkan adanya pembiaran aktivitas pertambangan rakyat secara ilegal oleh aparat negara.
Karena dibiarkan maka aktivitas pertambangan menjadi tidak jelas baik dari sisi aturan hukum, pekerja, pemodal, pajak, kerusakan lingkungan, konflik, keamanan, dampak ekonomi, dan dampak sosial. Aparat negara biasanya turun tangan jika sudah terjadi kasus besar, dimediasi oleh media, dan penyelesaiannya biasanya hanya sementara. Contoh lain, di lapangan PMR Hargomulyo-Wonocolo (Kabupaten Bojonegoro) usaha Pertamina untuk menguasai lapangan minyak dan melarang masyarakat menambang minyak juga dapat menjadi “bom waktu” yang setiap saat dapat meledak dan memicu bencana sosial berupa konflik di masyarakat.
Melihat fenomena aktivitas PMR di berbagai daerah baik yang dilakukan oleh segelintir orang maupun dilakukan secara massif oleh banyak orang secara berkelompok-kelompok (di Bojonegoro, Blora, Langkat, dan Musi Banyuasin) maka sudah seharusnya dilakukan legalisasi terhadap sumur-sumur ilegal oleh pemerintah sesuai peraturan yang sudah ada secara efektif.
Dengan legalisasi PMR maka aturan main bisa diterapkan secara jelas dan tegas termasuk sanksi bagi yang melanggar. Termasuk di dalamnya adalah mekanisme pengawasan secara efektif oleh pihak terkait seperti Dinas ESDM, Kantor Lingkungan Hidup, dan aparat POLRI. Bencana berupa kecelakaan kerja, kerusakan lingkungan, konflik antar petambang, konflik petambang dengan perusahaan minyak yang lokasinya berdekatan, konflik antara petambang dengan masyarakat sekitar, atau konflik antara petambang dengan aparat keamanan kemudian dapat dihindari.
Bagi para petambang legalisasi sumur minyak memberikan kepastian hukum dan rasa aman karena ada indikator yang jelas dalam peraturan aktivitas bekerja dan larangan-larangan yang harus dihindari. Termasuk di dalamnya berapa besaran kewajiban pajak yang disetorkan kepada negara sekaligus menghapus pungutan liar yang kerap menimpa para petambang.
Negara juga mendapat keuntungan ekonomis dari pajak PMR sekaligus memajukan perekonomian masyarakat sekitar PMR. Kebutuhan hidup orang yang bekerja di PMR seperti bahan makanan, pakaian, alat mandi dan cuci, serta obat-obatan dapat disediakan oleh mayarakat sekitar sehingga memberikan keuntungan ekonomis bagi mereka. Material alat-alat pertambangan pun dapat disediakan oleh masyarakat sekitar PMR sehingga para petambang tidak perlu pergi jauh ke kota besar untuk membeli alat-alat yang mereka butuhkan.
Dengan PMR yang legal maka petambang tidak perlu menjual minyak hasil penambangan ke pasar gelap dan harus main kucing-kucingan dengan aparat keamanan. Dengan cara ini maka PMR tidak lagi sebagai bencana alam dan sosial, tetapi bisa menjadi berkah bagi masyarakat sekitar, petambang, dan negara. (tribunjateng/cetak)