Tadarus

Etika Berlalulintas

Etika Berlalulintas. Tadaris oleh Dr Mutohharun Jinan, Direktur Pondok Shabran UM Surakarta

Editor: iswidodo
IST
Dr Mutohharun Jinan MAg, Direktur Pondok Shabran UM Surakarta 

Dr Mutohharun Jinan Mag, Direktur Pondok Shabran UM Surakarta

TRIBUNJATENG.COM - Hampir tiap hari tersiar berita kecelakaan lalu lintas yang menelan korban jiwa, terlebih pada saat jalan raya padat pemudik seperti sekarang ini. Merujuk data di Mabes Polri pada 2017 lalu jumlah kecelakaan sebanyak 1.299 menelan 292 korban jiwa dan kerugian materi mencapai Rp 2.727.364.750.

Data itu menunjukkan betapa jalan raya masih menjadi rawan bagi kelangsungan hidup manusia. Nyaris tanpa perdebatan, kecelakaan laulintas terjadi lebih banyak disebabkan faktor manusia yang lalai. Baik lalai dalam berkendara maupun lalai dalam menyediakan infrastruktur layak.

Kecelakaan bermula dari kecerobohan orang berlalu lintas, seperti kebiasaan menerobos rambu-rambu, menggunakan jalur yang salah, tidak sabar, dan ingin cepat sampai tujuan, tidak menghargai pengguna jalan. Bahkan ada yang sengaja mencelakakan orang lain dengan menyebar paku di jalan.

Terkait etika berlalu lintas, Islam menganjurkan supaya menghargai sesama pengguna jalan dan mentaati peraturan-peraturan dalam berkendara. Antara lain mendahulukan pejalan kaki, tidak mengganggu orang lewat, menyingkirkan duri (hambatan) dari jalan supaya orang tidak tertimpa celaka. Kemampuan berkendara merupakan bagian dari nikmat Allah yang harus disyukuri (QS. Az-Zukhruf [43]: 12-13).

Terdapat prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang apabila ditaati akan menimbulkan sikap dan perilaku santun dalam berlalu-lintas. Dikisahkan, suatu ketika Ali Bin Abi Thalib berjalan hendak menuju ke masjid, dilihatnya seorang tua berjalan tertatih-tatih menuju tempat yang sama.

Lalu Ali membantu dan mempersilakan orang tersebut berjalan lebih dahulu. Atas perbuatan itu, Ali mendapat pujian dari Nabi Muhammad dan mengatakan ia telah berlaku santun di jalan.

Sedang dalam Alquran disebutkan, "Dan janganlah engkau memalingkan mukamu dari manusia dan janganlah berjalan di bumi secara angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri" (QS. Luqman [31]: 18).

Prilaku ugal-ugalan saat berkendara merupakan satu bentuk kesombongan dan sikap tak acuh terhadap pengguna jalan yang lain. Memacu kendaraan berkecepatan tinggi agar cepat sampai ke tujuan adalah sikap mementingkan diri sendiri.

Tak peduli apakah prilakunya itu akan mendatangkan celaka bagi orang lain, bahkan dirinya sendiri. Prilaku-prilaku demikian tak sesuai semangat yang disampaikan dalam ayat tersebut.

Padatnya lalu lintas di jalan raya menuntut pengguna jalan untuk sabar, santun, dan menaati rambu-rambu. Sabar, santun, dan tak tergesa-gesa merupakan sifat mulia yang diajarkan Rasulullah SAW.

Beliau bersabda, "Sesungguhnya dalam dirimu terdapat dua sifat yang dicintai Allah, yaitu sabar dan tidak tergesa-gesa" (HR. Bukhari). Pesan ini sejalan dengan ibadah puasa yang mendidik untuk berlaku sabar dalam berbagai hal.

Sedangkan dalam hadis lain disebutkan, "Sikap berhati-hati itu berasal dari Allah dan tergesa-gesa berasal dari setan" (HR. Malik). Bahkan Islam mengajarkan sikap santun di jalan tidak hanya kepada sesama manusia, kepada binatang pun harus diberi kesempatan untuk menyelematkan diri terlebih dahulu agar tidak terlindas kendaraan, sebagaimana sikap Nabi Sulaiman kepada semut yang hendak menyingkir supaya tidak terinjak (QS. An-Naml [27]: 18-19).

Sebagai bagian dari upaya meningkatkan etika berlalu lintas di masyarakat dapat dilakukan melalui pendekatan keagamaan. Misalnya disosialisasikan tertib berlalu lintas merupakan bagian dari fikih yang bermuatan Ilahiyah. Bahwa santun di jalan dan menjaga ketertitban bagian dari pesan-pesan ketuhanan yang seharusnya diwujudkan dalam kehidupan bersama. (tribunjateng/cetak)

Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved