Kisah Pemecah Batu, Sudah Jalani Puluhan Tahun Demi Sesuap Nasi
Namun, berbeda dengan para pemecah batu di Jalan Raya Meteseh, Tembalang, Semarang.
Penulis: Restu Trisna Wardani | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Profesi sebagai pemecah batu memang lekat dilakukan oleh laki-laki.
Sebab pekerjaan ini memang sangat berat dan pastinya melelahkan.
Bagaimana tidak, setiap hari harus mencari dan membawa batu dari sungai, kemudian dipecahkan satu-persatu.
Namun, berbeda dengan para pemecah batu di Jalan Raya Meteseh, Tembalang, Semarang.
Mereka mayoritas adalah perempuan dan rata-rata umur mereka lebih dari 50 tahun.
Seperti satu di antara mereka, yakni Alimah, perempuan yang telah berumur kurang lebih 52 tahun.
"Saya gak tau kalo ditanya umur. Seingat saya dulu lahir 1966. Hitung saja sendiri," ujarnya sambil tertawa.
Perempuan asli Semarang ini mengaku telah mengawali profesi sebagai pemecah batu kurang lebih sudah 25 tahun silam.
"Aku juga lupa kapan pertama jadi tukang pecah batu. Dulunya cuma ikut orang tua dari sebelum menikah sampai telah berkeluarga. Ya ikut bantu-bantu orang tua seperti itu," tuturnya kepada Tribun Jateng.
Perempuan yang telah memiliki tiga orang anak tersebut masih setia menjalani profesinya menjadi pemecah batu sampai sekarang.
Ia mengatakan, sampai suaminya meninggalpun ia tak beralih profesi.
"Suami saya sudah meninggal 2009 lalu," ungkapnya.
Ketika Tribun Jateng bertanya kenapa tak beralih profesi, ia menjawab, "Ya mau bagaimana lagi. Mau jadi pembantu ya gak bisa. Lah bisanya cuma mecah batu," katanya sambil bercanda.
Alimah menuturkan, setiap pagi ia harus mencari dan mengangkat batu dari sungai sendiri.
Kemudian dibawa ke atas sampai terkumpul cukup banyak, baru setelah itu dipecahkan satu-persatu.
"Gak capek kok sudah kerjaannya, jadi sudah biasa. Lagian kerja seperti ini kan bebas. Berangkat bisa kapan aja terserah. Mau berangkat ya dapat uang, gak berangkat ya gak dapat uang," ucapnya sambil tersenyum.
Perempuan yang bertempat tinggal di RT 1 RW 9 Desa Tunggu, Meteseh, Semarang ini mengatakan, berangkat dan pulang bekerja tidak pasti waktunya.
"Kadang berangkat bisa jam 7 pagi atau paling telat ya jam 9 pagi. Pulang juga gitu, kadang jam 4 sore paling cepet atau bahkan sampai jam 6 sore baru pulang," terangnya.
Alimah menuturkan, penghasilannya tiap hari tak pasti.
"Bahkan pernah seminggu tak mendapatkan uang," paparnya.
Ia mengatakan, ada sembilan orang ditempat itu yang menjalani profesi sebagai pemecah batu sepertinya.
Proses transaksi jual beli yang dilakukan pembeli kepada para pemecah batu.
"Pembeli yang datang biasanya membawa mobil bak terbuka sendiri. Kalo pembayarannya pakai girik," ucap Alimah.
Nah, setelah Tribun Jateng menunggu sampai datangnya pembeli, ternyata yang dimaksudkan girik itu adalah ban bekas yang digunting menjadi lembaran persegi panjang.
Jadi setiap pemecah batu akan menakar batu yang telah dipecahnya dengan keranjang kecil. Keranjang tersebut kemudian dibawa ke mobil bak terbuka si pembeli.
Keranjang yang telah kosong itu selanjutnya diisi dengan girik oleh pembeli. Dan hal itu dilakukan sampai mobil bak terisi penuh.
"Jadi sistemnya, siapa yang paling banyak punya batu pasti akan mendapatkan girik paling banyak pula. Lalu girik itu ditukarkan dengan uang kepada pembeli. Satu girik dihargai Rp 1.500," papar Alimah.
Ia mengatakan, untuk menambah penghasilan ia tidak hanya menjual batu yang sudah dipecah. Namun, ia juga menjual batu yang masih utuh.
"Batu tersebut harus dipilih dulu, yang bagus-bagus dipisahkan. Seperti yang bentuknya bulat itu satu keranjang dijual Rp 20 ribu. Yang bentuknya gepeng juga sama dijual Rp 20 ribu per keranjang," ujar Alimah.
Alimah menerangkan, batu-batu yang seperti itu biasanya untuk hiasan.
"Jadi wajar jika lebih mahal," imbuhnya.
Ia juga menceritakan, pernah dapat bantuan dari beberapa acara di stasiun televisi. "Ya pernah waktu itu terakhir dapat Rp 1,5 juta," imbuhnya lagi.
Mustopiah, yang juga pemecah batu mengatakan, juga pernah dapat uang dari stasiun televisi.
"Waktu itu saya dapat Rp 2 juta," katanya sambil tertawa.
Perempuan setengah baya asli Semarang ini juga kurang lebih sudah 25 tahun menjalani profesi sebagai pemecah batu.
"Tapi saya lupa tepatnya. Pokoknya saya jadi tukang pecah batu itu dari muda sampai sekarang udah punya anak enam dan cucu lima," jelasnya sambil tertawa.
Nuryati, pemecah batu juga mengatakan, ia telah lebih dari 20 tahun menjalani profesi ini. Ketika ditanya sekarang sudah umur berapa, "Mungkin 18 tahun sekarang," katanya sambil bergurau.
Perempuan yang telah memiliki lima orang anak ini juga mengatakan, penghasilan yang ia dapat tidak pasti. "Ya kalo lagi dapet rezeki bisa dapet banyak," katanya.
Slamet Mulyono, seorang pembeli batu mengatakan, membeli batu disini lebih murah dibandingkan jika membeli di toko bangunan.
"Seumpama satu bak penuh di toko bangunan sampai Rp 300 ribu. Disini cukup bayar Rp 150 ribu," jelasnya saat membeli batu dari para pemecah batu*)