Hari-hari Dua Perempuan : Jeritan Terpidana Mati dan Seumur Hidup
Tamu-tamu –seperti saya-- silih berganti mengunjungi, ingin berkenalan dengan Mary yang terkenal, memperlakukannya bak Tugu Monas.
TRIBUNJATENG.COM - "Ibarat orang belum ke Jakarta kalau belum lihat Monas, nah belum ke Lapas Wirogunan kalau belum ketemu Mary Jane,” ujar seorang petugas yang mengantar kami saat itu, di suatu hari pada Agustus 2016.
Ia bercerita, sudah banyak pejabat ataupun tokoh publik yang mengunjungi Mary Jane Velosso, warga negara Filipina yang menjadi terpidana mati karena tertangkap membawa heroin di dalam tasnya.
Para tamu itu datang untuk sekadar berkenalan dan berfoto bersama.
Saya tercenung. Tamu-tamu –seperti saya-- silih berganti mengunjungi, ingin berkenalan dengan Mary yang terkenal, memperlakukannya bak Tugu Monas.
Namun seberapakah kami betul-betul peduli pada nasib Mary yang merasa telah diperlakukan zalim oleh sistem peradilan di Indonesia?
Salah satu bagian terberat bagi saya dalam proses penulisan cerita dari penjara ini, adalah ketika harus mewawancarai para terpidana mati, juga terpidana seumur hidup.
Saya bukan pendukung hukuman mati, dan tidak sanggup membayangkan siksaan batin yang dialami oleh mereka yang mendapat vonis tersebut.
Saya juga sulit mencerna, bahwa ada orang yang akan seumur hidupnya berada di penjara dan tidak akan punya kesempatan lagi untuk mendapatkan kehidupan normal. Saya cemas akan mengajukan pertanyaan yang menyebalkan dan tidak berempati kepada keadaan mereka.
Wawancara adalah aktivitas yang sangat saya sukai dan telah saya lakukan bahkan sejak saya masih siswa SMA sebagai staf redaksi majalah sekolah, namun tugas kali ini bisa dikatakan salah satu yang paling menguras emosi.
Mary Jane: "Masih ingin ketemu lagi dengan anak-anak saya.”
Ketika menceritakan kisahnya kepada saya, Mary menangis tersedu-sedu. "Saya tidak bersalah! Tolong bantu saya. Saya masih ingin ketemu lagi dengan anak-anak saya, " ujarnya pilu. Butuh waktu beberapa saat hingga tangis Mary reda dan dapat kembali mengendalikan diri.
Mary mencari nafkah dengan menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang. Sempat bekerja di Abu Dhabi, Mary akhirnya melarikan diri karena hampir diperkosa. Berikutnya ia kembali berniat menjadi pekerja rumah tangga, kali ini di Malaysia. Melalui bantuan Maria Kristian P. Sergio tetangganya, Mary sampai di Kuala Lumpur.
Setelah seminggu tinggal di sana, belum ada tanda-tanda ia akan dibawa ke rumah majikan. Maria kemudian malah memintanya memilih, ditinggal Maria ke Indonesia untuk suatu keperluan atau Mary sendiri yang harus berangkat ke Indonesia untuk mewakili dirinya.
"Waktu itu saya ketakutan ditinggal sendiri karena trauma akan ancaman perkosaan yang dulu,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang sangat lancar.