Ngopi Pagi
FOKUS: 'Matamu' Ala Buwas
Jadi kalo saya mengeluhkan fakta gudang saya ini sudah tidak mampu menyimpan, saya harus menyewa gudang, bahkan meminjam
Penulis: arief novianto | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Arief Novianto
Wartawan Tribun Jateng
TRIBUNJATENG.COM -- "Matamu itu!" Ucapan itu keluar dari seorang Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas), menanggapi jawaban Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengenai permintaan biaya tambahan gudang penyimpanan beras impor.
"Jadi kalo saya mengeluhkan fakta gudang saya ini sudah tidak mampu menyimpan, saya harus menyewa gudang, bahkan meminjam, itu kan cost tambahan, ada yang jawab itu urusannya Bulog (bukan pemerintah-Red) kalau soal gudang. Matamu itu," kata Buwas, Rabu (19/9).
Hal itu diawali dari kebijakan impor beras untuk Bulog yang menjadi polemik. Menurut Budi Waseso, stok beras Indonesia masih sangat aman, yaitu sebesar 2,4 juta ton, dan masih akan bertambah menjadi 2,7 juta ton hingga akhir tahun.
Jumlah itu diperkirakan masih bisa mencukupi kebutuhan untuk rakyat Indonesia hingga Juni 2019. Sehingga impor beras untuk saat ini tidak diperlukan.
"Ada yang ngomong 'perlu impor', ini pikiran dari mana? Saya juga bingung ini warga negara atau bukan, ini berpikir negara bangsa atau bukan. Cobalah kita sama-sama. Gunanya berkoordinasi itu kita menyamakan pendapat, kira-kira ini lho prediksinya." papar Buwas.
Yah, dalam kosa kata Jawa, khususnya Jateng, merujuk daerah asal mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) itu dari Kabupaten Pati, ungkapan "Matamu itu!" memiliki konotasi kasar, atau merupakan sebuah cacian.
Meski kata-kata seperti itu sebenarnya tidak layak terlontar dari mulut seorang pejabat negeri, nyatanya orang di sekitar saya dalam menanggapi kasus ini justru membela Buwas.
"Buwas keren, iso misuh nang ngarep media. Tapi bener kuwi, memang kudu ngono (Buwas keren, bisa mencaci di depan media. Tapi itu betul, memang harus seperti itu-Red)," kata seorang tetangga dalam sebuah obrolan ngalor-ngidul di pos ronda kampung saya, kemarin malam.
Dalam konteks perselisihan antara Kementerian Perdagangan dan Bulog, rasa-rasanya Buwas memang lebh memiliki posisi di atas angin. Hal itu mengingat posisi Bulog sebagai pengemban amanah dari Kementerian Perdagangan sebagai lembaga pemegang otoritas penyediaan kebutuhan pangan.
Dengan realitas itu, kedua lembaga ini sudah seharusnya selalu terkoordinasi, termasuk keterkaitannya dengan penyediaan gudang penyimpanan komoditas.
Jadi, jika Kementerian Perdagangan merasa tidak memiliki urusan dengan gudang penyimpanan beras, tak perlu Buwas yang ngomong, masyarakat awam pun bisa menilai hal itu.
Menanggapi kisruh itu, Presiden Jokowi pun turun tangan dengan memerintahkan Menko Perekonomian Darmin Nasution untuk mempertemukan Buwas dan Mendag, dengan intinya adalah untuk menyamakan persepsi.
Kembali pada cacian Buwas, ungkapan kemarahan seperti itu saat ini rasanya sudah jamak menjadi 'makanan' harian masyarakat di berbagai kalangan, tak hanya orang-orang pinggiran kelas rendah.
Dalam hal tertentu seperti dirasakan Buwas, cacian mungkin memang diperlukan untuk mengingatkan seseorang jika dirasa sudah kelewat menyimpang. Tetapi, segala sesuatu tentunya harus terkontrol, tidak kemudian sampai membabi-buta, dan menjadi bumerang untuk diri sendiri. (*)