Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Letusan Gunung Krakatau 1883 Setara dengan 21 Ribu Bom Atom, Lebih dari 36 Ribu Nyawa Jadi Tumbal,

Gunung Anak Krakatau kembali menjadi sorotan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya tsunami Banten pada Sabtu (22/12) kemarin.

Editor: galih permadi
Gunung Krakatau meletus 

Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi dari Jakarta.

Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:

Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa ratus orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini.

Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua.

Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu. Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu setelah dua abad beristirahat, perusahaan pemilik kapal London mengadakan suatu tour pariwisata bagi penduduk Batavia.

Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa bcrlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.

Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal.

Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menggelap, sedang laut agaknya makin berombak, hujan abunya makin deras.

Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimkan sekoci bagi penumpang yang akan mendarat, tetapi tak ada jawaban apa-apa.

Lalu kapten memerintahkan agar diturunkan sekoci kapal, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.

Lampu pelabuhan mnenyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung.

Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan bertalu. Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras.

Hujan batu apung membara dan abu panas

Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan residen.

Termasuk Van Zuylen, klerk-griffier, pembantu Le Sueur, satu-satunya Belanda yang tewas. Kampung-kampung pantai di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian.

Hanya di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di dekatnya 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan 244 orang.

Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.

"Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik.

Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan dan kaki.

Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar.

Seorang di antara anak saya juga meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu."

Antara pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggcnangi halaman rumah kontrolir.

Ini merupakan dorongan kuat bagi Bayerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil mengungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Raja Basa.

Semalaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul 11 malam hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala.

Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-mencrus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang. Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total.

Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri jika terkena kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas.

Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh, tetapi lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan lukaluka bakar.

Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.

Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu.

Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Bayerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.

Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kediri yang pada hari Saptu pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda.

Nakhoda kapal beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat.

Mereka mendengar bahwa kontrolir dengan keluarganya mengungsi di Umbal Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kediri bertolak ke Jakarta.

Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu.

Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.

***

Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali.

Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang.

Yang tinggal hanya batuan scpanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk suatu kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km

***

Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia dengan keccpatan 121 km tiap jamnya.

Setelah enam minggu, dalam bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi.

Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengakibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi sedikit.

Pada tanggal 30 November kabut itu mencapai Eslandia. Kabut debu itu menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang gemilang, matahari dan bulan berwarna dan munculnya corona.

Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk kota Missouri di Amerika melihat matahari kuning dengan latar belakang langit hijau.

Pada tanggal 29 Desember di Hankow (Cina) orang melihat matahari tiba-tiba menjadi hijau, kemudian merah lalu kembali lagi hijau.

Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang, letusan Krakatau "Lebih hebat daripada bom atom".

Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 Megaton!

Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom.

Sedangkan korban jiwa yang direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat sampai hari ini.

Ini belum terhitung korban tidak langsung yang meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian. (*)

Sumber: Grid.ID
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved