Forum Guru Sungkowo : Sistem Zonasi Perlu Kebijakan Zero Motor
Kebijakan zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah diberlakukan sejak tahun pelajaran 2017/2018 secara bertahap
Oleh Sungkowo
Guru SMP 1 Jati, Kudus
Kebijakan zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sudah diberlakukan sejak tahun pelajaran 2017/2018 secara bertahap. Daerah yang sudah mampu memberlakukan, dianjurkan memberlakukan. Sedangkan, daerah yang belum mampu memberlakukan karena terkendala pemetaan radius zona dekat sekolah, diharapkan memberlakukan pada tahun pelajaran berikutnya, 2018/2019. Tentu, dengan menentukan formulasi pemetaan radius zona dekat sekolah yang terbaik.Pada 2019/2020 tetap diberlakukan dengan penyempurnaan-penyempurnaan.
Sekolah tempat saya mengabdi mulai memberlakukan zonasi pada tahun pelajaran 2018/2019. Peserta didik yangsekarang berada di Kelas VII hasil PPDB sistem zonasi. Mereka berdomisili dekat dengan lokasi sekolah. Hal ini menguntungkan karena mereka tidak memerlukan waktu lama tiba di sekolah. Pun demikian mereka tidak menguras energi dan pikiran saat pulang-pergi sekolah.
Memang ada pro dan kontra atas kebijakan zonasi dalam PPDB. Mereka yang pro (umumnya) adalah orangtua/wali murid yang memiliki anak berkompetensi menengah ke bawah. Juga dari keluarga yang sosial ekonominya menengah ke bawah. Mereka yang kontra (umumnya) adalah orangtua/wali murid yang memiliki anakberkompetensi menengah ke atas. Juga dari keluarga yang sosial ekonominya menengah ke atas.
Sebelum diberlakukan sistem zonasi, anak-anak yang memiliki kompetensi menengah ke atas memiliki banyak pilihan sekolah. Hal yang sama dialami juga oleh anak-anak yang memiliki kompetensi menengah ke bawah, tapi dari keluarga yang sosial ekonominya menengah ke atas.Mereka bebas memilih sekolah favorit, sekalipun letak sekolah favorit itu jauh dari tempat tinggal mereka.Sementara anak-anak yang memiliki kompetensi menengah ke bawah dari keluarga sosial ekonomi menengah ke bawah, tidak memiliki banyak pilihan. Mereka menyerah pada keadaan.
Dengan diberlakukan sistem zonasi,masyarakat (anak-anak dan orangtua/wali murid) tidak memiliki banyak pilihan. Mereka hanya dapat mendaftar ke sekolah yanglokasinya dekat dengan tempat tinggal mereka. Dengan demikian tidak ada luapan pendaftar ke sekolah tertentu, yang dianggap favorit.Anak-anak, baik yang memiliki kompetensi menengah ke bawah maupun menengah ke atas memiliki akses yang sama mendaftar ke sekolah yang dekat dengan tempat tinggal mereka. Mereka juga sama-sama tidak memiliki akses mendaftar ke sekolah di luar zona.
Kebijakan ini seharusnya diikuti kebijakan sekolah yang dapat melindungi jiwa anak-anak didik. Keberangkatan anak-anak ke sekolah dan kepulangan mereka dari sekolah ke rumah merasa aman dan nyaman. Salah satu kebijakan yang menyentuh rasa aman dan nyaman anak-anak adalah kebijakan pergi-pulangsekolah zero motor. Cukup denganberjalan kaki atau menaiki sepedatak bermotor (untuk selanjutnya disebut bersepeda).
Kebijakan ini merespon secara positif kebijakan zonasi dalam PPDB. Karena lokasi sekolah anak-anak sudah dekat dengan lokasi rumah.Jarak antara sekolah dan rumah mereka dapat dijangkau dengan berjalan kaki atau bersepeda.
Selama inisebagian besar anak pergi-pulang sekolah mengendarai sepeda motor.Sangat mudah kita menjumpai anak-anak jenjang pendidikan menengah dan dasar setiap pergi-pulang sekolahmengendarai sepeda motor. Padahal, di antara mereka banyak yang belum berhak mengendarai sepeda motor.Di dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 81, ayat (2) bagian a dinyatakan bahwa syarat usia paling rendah dapat mengurusSurat Izin Mengemudi (SIM) C untuk mengendarai sepeda motor harus tujuh belas tahun. Jadi, usia mereka yang kebanyakan belum tujuh belas tahun jelas melanggar undang-undang.
Membiarkan mereka tetap boleh mengendarai sepeda motor saat pergi-pulang sekolah tidaklah mendidik.Seakan malah memberi kesempatan kepada mereka melanggar hukum. Maka, jangan heran kalau kemudian kita menjumpai anak-anak sekolah mengendarai motor tanpa helm, mengebut, dan berknalpot modifikasi.
Dalamwww.pikiran-rakyat.com, 2 Agustus 2018,dataDirjen Perhubungan Darattentang kecelakaan yang melibatkan pelajartertulis seperti berikut. Dilihat dari latar belakang pendidikannya, korban kecelakaan dengan pendidikan SMA sebanyak 138.995 orang pada 2016. Jumlah itu hanya berkurang pada 2017 menjadi 132.423 orang.Jumlah kecelakaan yang tinggi juga dialami pelajar SMP. Sebanyak 31.106 siswa SMP menjadi korban pada 2016. Jumlah itu turun menjadi 29.783 pada 2017.
Tentu kita prihatin membaca angka-angka itu. Generasi muda aset bangsa menjadi korban kecelakaansia-sia. Insiden demikian terjadi oleh banyak pakar remaja ditengarai karena anak-anak belum memiliki emosi yang stabil.Mereka masih mudah terpancing situasi dan kondisi yang ada di sekitar mereka.
Dengan kebijakan pergi-pulang sekolah zero motor, perlindungan jiwa anak-anak lebih terjamin. Saat berjalan kaki atau bersepeda, anak-anakakan memanfaatkan jalan secaratertib.Sangat kecil kemungkinan merekamengebut dengan bersepeda. Pun akanmengurangi kebiasaan mereka keluyuran sepulang sekolah.
Selain itu, mendidik anak-anak hidup lebih sederhanadan menanamkan nilai-nilai kepejuangan. Berjalan kaki atau bersepeda mempraktikkan hidup sederhana sekaligus ekonomis. Energi yang dibutuhkan untuk berjalan danmengayuh saat bersepeda pergi-pulang sekolah merupakanbagian dari perjuangan menuntut ilmu.
Kontribusi terhadap lingkungan juga terasa dengan diberlakukannya kebijakan ini. Dengan berjalan kaki atau bersepeda, anak-anak sudah turut merawat lingkungannya. Karena tidak mencemari lingkungidengan polutan dari kendaraan bermotor. Dan lebih dari itu, mereka telah merawat kesehatan diri sendiri. Berjalan dan bersepeda merupakan olahraga yang menyehatkan badan. Bukankah begitu? (*)