Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Lipsus Tambaklorok: Achmadi Tunggu Putusan MA Soal Nilai Ganti Rugi

Pembebasan lahan pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok, Semarang Utara, belum sepenuhnya tuntas.

Tribunjateng.com/Reza Gustav Pradana
Langit terlihat cerah berawan di daerah Tambaklorok, Tanjung Mas, Semarang Utara, Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (29/12/2018). Gelombang air terlihat normal dan berjarak satu setengah meter dari permukaan dam. 

TRIUNJATENG.COM, SEMARANG - Pembebasan lahan pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok, Semarang Utara, belum sepenuhnya tuntas. Ada sejumlah rumah warga yang terdampak pembangunan jalan, pasar, dan ruang terbuka hijau.

Masih ada warga yang terdampak langsung pembangunan proyek strategis nasional tersebut belum terbebaskan. Warga bersikukuh bertahan karena berbagai alasan. Achmadi Muhadi, seorang warga terdampak, merupakan satu dari warga yang mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terkait pembebasan lahan rumahnya yang terdampak proyek. Ia tidak puas dengan nominal ganti rugi (untung) yang ditawarkan tim apraisal.

Dia mengatakan, sangat mendukung proyek yang akan berdampak positif kepada warga setempat yang mayoritas merupakan nelayan. "Saya sangat mendukung pembangunan ini. Bagus. Kami tidak konyol ingin menghentikan proyek ini. Kami hanya butuh keadilan," tegas Achmadi.

Ia pun tak ingin berlama-lama menghadapi masalah itu. Menurutnya, setiap pembangunan infrastruktur terdapat korban. Nah, kali ini, dia dan beberapa warga merasa jadi korban pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok. Hanya saja, pembangunan itu meninggalkan masalah sosial ekonomi di masyarakat, terutama tidak cocoknya angka ganti rugi.

Achmadi mempunyai sejumlah alasan untuk mempertahankan lahan dan bangunan miliknya yang akan dijadikan jalan dalam proyek tersebut. Pertama, kata dia, harga yang ditawarkan antara lahan milik negara dan yang sudah ber-SHM (hak milik) selisih sedikit.

"Tanah saya yang sudah memiliki SHM dan tanah pemerintah dihargai selisihnya tidak banyak, hanya Rp 100-150 ribu," jelasnya.

Kemudian, lahan miliknya hanya dihargai Rp 850 ribu permeter. Sedangkan untuk mencari lahan di Kota Semarang, dia harus merogoh kocek sekitar Rp 1,5 juta per meter, itu pun di pinggiran, seperti di Genuk. Sehingga, ia keberatan. Dia mengaku diperlakukan tidak adil lantaran membandingkan rumah terdampak lain yang posisinya sama dengan rumahnya, padahal memiliki ukuran lebih sempit, namun dihargai lebih tinggi.

Bangunan miliknya memiliki luas 5,5x 14 meter dihargai Rp 264 juta. Itu masih harga rendah, jika dibandingkan dengan lahan tetangganya. "Seharusnya Rp 350 juta biar saya bisa beli lahan lagi yang setimpal," terang Achmadi.

Ia dan beberapa warga lain pun sempat mendatangi kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang untuk mengklarifikasi kenapa bangunan miliknya yang sudah ditempati puluhan tahun itu dihargai murah. Pihaknya masih membuka jalan kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah meminta klarifikasi, tidak ada jawaban memuaskan. Hingga akhirnya empat orang mengajukan kasasi ke MA soal pembebasan lahan itu.

Tanggal 20 Februari kemarin, kasasi sudah teregister di MA. Pihaknya masih menunggu putusan dari MA.

Pedagang Minta Dibuatkan Koperasi Pasar

Yuliatun (45) seorang pedagang sekaligus warga RT06/RW14, Tambaklorok, Kota Semarang saat malam masih buka dagangan, belum tutup. Di belakang lapaknya berdiri gedung pasar modern bercat biru yang baru saja dibangun.

Namun belum bisa dimanfaatkan pedagang karena sedang tahap penyelesaian. Oleh sebab itu para pedagang masih terlihat berjualan di tepi jalan. Mereka juga belum mendapatkan sosialiasi terkait kapan pasar tersebut bisa dipakai dan seperti apa mekanisme pembayaran agar bisa berjualan di gedung baru.

Menurut Yuliatun, selama ini para pedagang berjualan di pinggir jalan dengan biaya retribusi Rp 2.000 per hari. Dengan nantinya dipindah ke gedung pasar, ia berharap biaya sewa tidak memberatkan pedagang.

“Saya kurang tahu ini nanti sistemnya beli atau sewa. Kalau bisa biaya sewanya harian aja. Jangan mahal-mahal,” ujar wanita yang sejak 1997 sudah berjualan di pasar Tambaklorok.

Saat ini jumlah pedagang hasil laut di Tambaklorok berjumlah sekitar 70 orang. Jika digabung dengan pedagang sayur dan lain sebagainya bisa mencapai 200 orang. Yuliatun juga meminta adanya koperasi pasar. Supaya pedagang bisa melakukan peminjaman dana segar dengan bunga yang tidak terlalu tinggi.

Diakuinya, sejauh ini banyak pedagang Tambaklorok pinjam uang kepada rentenir atau bank plecit. Hal tersebut dirasa memberatkan karena bunga tinggi mencapai 30 persen. Sehingga jika nanti ada koperasi pasar diharapkan bisa membantu segi financial pedagang.

Tiga Kapal Hancur Diterjang Ombak

Terpisah, seorang nelayan, Subur tampak ngobrol bersama tiga pria lain di depan perahu. Nelayan Tambaklorok tersebut mengaku sedang istirahat sejenak dari aktivitasnya sore itu memasang mesin kapal.

"Ini perahu saya beli baru, harga total plus mesin Rp 45 juta hasil hutang bank, bukan dari uang ganti rugi lo yaa. Karena rumah saya tidak terdampak pembangunan jadi nggak dapat,” katanya seraya tertawa.

Ditanya terkait proyek Kampung Bahari, Subur geleng-geleng kepala. Menurut Subur, renovasi dermaga yang saat ini, masih ada yang kurang. Yaitu tidak ada penghalang ombak sehingga saat musim ombak tiba, langsung menghantam kapal-kapal yang sedang bersandar.

Mereka mengaku sering usul agar dibuatkan penghalang ombak kepada pejabat yang datang. Terakhir ketika kunjungan mendadak Presiden Joko Widodo pada tengah malam. Nelayan sangat berharap agar dibuatkan penghalang ombak.

“Sampai kami (nelayan Tambaklorok-red) tidak bisa tidur untuk bergantian berjaga. Total sudah ada tiga kapal yang hancur akibat hal ini,” keluhnya. Dari segi tangkapan, udang, ikan tengiri, dan tongkol masih menjadi hasil laut yang paling banyak ditangkap. (tim)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved