Bolehkah Zakat Fitrah Dibayar dengan Uang? Ini Penjelasan UAS Ustad Abdul Somad
Ustad Abdul Somad (UAS) memberikan penjelasan tentang hukum membayar zakat dengan uang. UAS menjelaskan bahwa zakat yang bersifat wajib
Penulis: Ardianti WS | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM- Ustad Abdul Somad (UAS) memberikan penjelasan tentang hukum membayar zakat dengan uang.
UAS menjelaskan bahwa zakat yang bersifat wajib.
Pemberian zakat harus dikeluarkan sebelum khatib Shalat Idul Fitri naik ke atas mimbar.
Hal tersebut yang menjadi pembeda zakat fitrah dengan zakat lainnya.
Tujuan mengeluarkan zakat fitrah adalah untuk menyucikan harta.
Karena dalam setiap harta manusia ada sebagian hak orang lain.
Dalam video tersebut, Ustaz Abdul Somad memberikan sejumlah jawaban yang kerap menjadi tanda tanya bagi orang yang ingin menunaikan zakat fitrah.
Di antara yang paling sering menjadi bahan perdebatan adalah, apakah boleh bayar zakat fitrah pakai uang?
Menurut Abdul Somad membayar zakat mengunakan uang itu sah-sah saja, karena zaman dulu pakai sistem barter, hal itu sesuai dengan Mazhab Hanafi.
Namun untuk Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali bayar zakat mengunakan makanan pokok.
"Nabi itu bayar zakat fitrah pakai apa Pak Ustaz?" UAS bertanya lalu memberikan jawabannya.
"Pakai empat. Yang pertama tamrin (kurma), yang kedua qamhin (gandum), ketiga zabib (kismis), yang keempat aqid (susu kambing dijemur kering/mentega). Tak ada pernah Nabi bayar (zakat fitrah) pakai beras," kata Ustadz Abdul Somad.
Ia kemudian melanjutkan, "Kalau ada orang yang mengatakan, bid’ah bayar zakat fitrah pakai duit,"
Kemudian dijelaskannya lagi "pakai beras pun bid’ah, karena Nabi tidak pernah bayar pakai beras”.
Ustaz Abdul Somad kemudian melanjutkan penjelasannya tentang bayar zakat fitrah dengan beras.
Jadi kenapa orang berani bayar pakai beras?
"Empat ini (kurma, gandum, kismis, dan aqid) makanan pokok, maka kita bayar pakai makanan pokok. Orang Pekanbaru makan nasi, bayar pakai beras. Kalau tinggal di Papua, bayar (pakai sagu)," ujarnya.
“Kebetulan di situ makan tiwul, bayarlah (pakai) gaplek. Gaplek tiwul bukan balak anam,” kata Ustaz Abdul Somad disambut tawa jamaah.
Tiwul adalah adalah makanan pokok pengganti nasi beras yang dibuat dari ketela pohon atau singkong.
Penduduk Wonosobo, Gunungkidul, Wonogiri, Pacitan, dan Blitar (Jawa Timur), dikenal mengonsumsi jenis makanan tiwul atau gaplek.
Sebagai makanan pokok, kandungan kalorinya lebih rendah daripada beras namun cukup memenuhi sebagai bahan makanan pengganti beras.
Tiwul pernah digunakan untuk makanan pokok sebagian penduduk Indonesia pada masa penjajahan Jepang.
Kemudian UAS kembali melanjutkan penjelasan dengan metode tanya jawab yang dilakoninya sendiri.
"Kalau ditanya Ustadz bayar zakat pakai apa?"
"Saya pribadi bayar pakai beras"
"Tak pernah pakai duit?"
"Tidak. Tapi saya tidak menyalahkan yang pakai duit, karena mazhab hanafi membolehkan. Satu mazhab membolehkan (pakai duit). Yang pakai beras atau makanan pokok tiga (mazhab),” kata Ustaz Abdul Somad.
Zakat 2,5 kilo atau 3 kilo beras?
Berapa zakat yang harus diberikan? 2,5 kilogram atau 3 kilogram?
Melansir dari konsultasisyariah.com, dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhu; beliau mengatakan,
فَرَضَ رَسُولُ اللهِ – صَلّى اللهُ عَلَيه وَسَلّم صَدَقَةَ الْفِطْرِ عَلَى الذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ ، صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri, untuk lelaki dan wanita, orang merdeka maupun budak, berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Bukhari 1511 dan Muslim 2327)
Dalam hadis lain, dari Abu Said Al Khudzri radliallahu ‘anhu,
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dulu kami menunaikan zakat fitri dengan satu sha’ bahan makanan, atau satu sha’ gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ keju atau stu sha’ anggur.” (HR. Bukhari 1506 & Muslim 2330)
Dalam hadis ini, disebutkan secara tegas bahwa kadar zakat fitri adalah satu sha’ bahan makanan.
ha’ adalah ukuran takaran bukan timbangan. Ukuran takaran “sha’” yang berlaku di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sha’ masyarakat Madinah. Yang itu setara dengan 4 mud.
Satu mud adalah ukuran satu cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan. Dengan demikian, satu sha’ adalah empat kali cakupan penuh dua telapak tangan normal yang digabungkan.
Mengingat sha’ adalah ukuran takaran, umumnya ukuran ini sulit untuk disetarakan (dikonversi) ke dalam ukuran berat karena nilai berat satu sha’ itu berbeda-beda tergantung berat jenis benda yang ditakar. Satu sha’ tepung memiliki berat yang tidak sama dengan berat satu sha’ beras. Oleh karena itu, yang ideal, ukuran zakat fitri itu berdasarkan takaran bukan berdasarkan timbangan.
Hanya saja, alhamdulillah, melalui kajian para ulama, Allah memudahkan kita untuk menemukan titik terang masalah ukuran ini.
Satu Sha berarti 3 kilo.
Maka untuk lebih aman, untuk zakat fitrah yakni 3 kilogram.
Lebih baik dilebihkan dari pada kurang. Karena jika lebih, kelebihannya menjadi sedekah.
Sementara melansir dari Tribnnews.com, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim menganjurkan umat Islam menggenapkan zakat fitrah yang diberikan pada bulan Ramadan digenapkan jadi 3 kg per orang dari sebelumnya 2,5 kg.
Anjuran tersebut disampaikan Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Abdurahman Nafis.
Menurut Nafis, anjuran penggenapan besaran zakat fitrah menjadi 3 kg tersebut dapat menjadi jalan keluar terhadap perdebatan dan polemik terkait besaran hitungan besaran zakat yang harus dikeluarkan umat muslim. (*)
• Heboh! Polsek Pemalang Tangkap Pocong yang Resahkan Warga, Inilah Penampakannya
• Penyakit Ani Yudhoyono Dituding Settingan, SBY: Semoga Keluarga Anda Tidak Mengalami Kanker Darah
• Soal Pertemuan AHY dengan Jokowi, SBY: Demokrat Memiliki Etika