BPN Prabowo-Sandi Klaim Menang 52 Persen, Mahfud MD: Bandingkan Saja dengan 3 Kontainer Bukti KPU
Mahfud MD mengatakan bahwa klaim 52 persen kemenangan Prabowo-Sandi di sidang MK akan dibandingkan dengan data KPU.
Penulis: Ardianti WS | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan bahwa klaim 52 persen kemenangan Prabowo-Sandi di sidang MK akan dibandingkan dengan data KPU.
Hal ini dikatakan Mahfud MD saat menjadi narasumber di acara Kabar Petang Tv One, Senin (17/6/2019).
Mulanya, pembawa acara bertanya soal keabsahan alat bukti yang dibawa oleh kuasa hukum Prabowo-Sandi.
Mahfud MD menjelaskan bahwa hakim MK akan menilai satu per satu keabsahan bukti yang diajukan pemohon.
Mahfud mengatakan, nantinya Hakim MK akan memeriksa satu persatu alat bukti yang diajukan.
"Kemarin itu disahkan oleh Ketua MK bahwa semua alat bukti diberi tanda P1 sampai P berapa itu kan sudah disahkan," jawab Mahfud MD.
Mahfud lantas mengatakan bahwa hakim akan menilai apakah bukti yang diajukan pemohon itu sah atau tidak.
"Nanti disahkan itu artinya dia sah sebagai alat bukti untuk diperiksa dulu kemudian besok tentu akan dinilai satu per satu apakah itu relevan dengan perkara atau tidak yang sudah disahkan, sehingga nanti keputusan alat bukti nomor sekian, itu sah alat bukti atau relevan mempengaruhi suara, alat bukti nomor sekian memepengaruhi suara tapi tidak signifikan, tentu akan dinilai satu per satu biasanya. Jadi tidak apa-apa kemarin itu disahkan dalam arti diserahkan gitu," ujarnya.
Mahfud kembali menegaskan bahwa bukti yang diajukan diperiksa satu per satu.
Mahfud lantas membahas klaim suara 52 persen Prabowo-Sandi tersebut bisa dibuktikan atau tidak dan akan dibandingkan dengan bukti data dari KPU.
"Tentu dong diperiksa satu per satu, jadi nanti misalnya begini paslon 02 menyatakan kami punya suara 52 persen suara, mana buktinya? Buktinya nanti dibuka ini loh formulir kami, sedangkan KPU punya formulir yang begini,Kabarnya hari ini sudah mengantarkan 3 kontainer bukti-bukti itu, ya nanti mau tidak mau harus dibandingkan," ujar Mahfud MD.
Mahfud lantas mengatakan bahwa formulic c1 tidak diperiksa satu per satu.
"Tetapi tidak lembar per lembar pastinya paslon pemohon itu sudah punya daftar TPS nomor berapa, formulir nomor berapa, plano dari mana dan sebagainya, C planonya itu nanti ditunjukkan lalu diuji yang mana yang benar kan tidak mungkin sekian, 813 juta lalu dibuka satu persatu itu amat sangat tidak mungkin nanti pasti harus bisa ditunjukkan formulir nomor berapa yang berbeda. Itu saja kalau menyangkut kuantifikasi," ujarnya.
Mahfud lantas menjelaskan menkanisme adu bukti dari dalil kuantitatif.
"Iya, artinya gini, yang mengajukan nanti pemohon di TPS ini ada kesahan, mana punya KPU, kalau banyak sekali, ada sesi khusus untuk itu, siapa yang mencatat, siapa yang memotret, siapa yang menjelaskan, itu kalau terlalu banyak, selalu begitu, kalau dalilnya kuantitatif memang harus diperiksa dokumen formulir c1, kalau kualitatif ya berbeda lagi," ujarnya.
Mahfud juga menjelaskan mekanisme pembuktian yang dilakukan MK jika menggunakan dalil kualitatif.
Kalau kualitatif, misalnya ada kecurangan Pak Bupati ini, pak kepala BUMN di kabupaten ini, siapa saksinya, apakah berpengaruh langsung perolehan suara di TPS, apakah dia menyuruh orang membawa suara, atau mewakili orang dengan membeli suara ratusan orang, nah itu harus dibuktikan, nah itu, itu sifatnya kualitatif, namanya masif itu nggak ada 1,2,3,4," ujar Mahfud MD.
Sebelumnya,Dahnil Anzar Simanjuntak Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menjelaskan alasan angka klaim kemenangan pihaknya berubah.
Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan perubahan itu terjadi lantaran progress pengumpulan data rekapitulasi hasil Pilpres 2019 dari pihaknya belum rampung, dan terus dilakukan perubahan seiring capaian terakhir mereka.
“Seperti dijelaskan Mas Bambang Widjajanto (BW) juga kalau teman ikuti, progresifitas perubahan pasti terjadi seiring pengumpulan data,” ucap Dahnil Anzar Simanjuntak, ditemui di kediaman Sandiaga Uno, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2019) malam.
Dahnil Anzar Simanjuntak menegaskan, data yang disampaikan BW dalam persidangan gugatan hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), adalah data akhir.
"Mas BW jelaskan setelah sidang selesai, proses ketika MK selesai, semua sudah finalisasi, itu data finalnya,” ujarnya.
Awalnya, kubu Prabowo-Sandi mengklaim menang 62 persen atas Jokowi-Maruf Amin.
Namun, saat gugatan sengketa Pilpres 2019 diajukan ke MK, klaim kemenangan berubah menjadi 52 persen.
Prabowo-Sandi menyebut menang dengan perolehan 68.650.239 suara atau 52 persen melawan Jokowi-Maruf Amin, yang disebut meraih 63.573.169 suara atau 48 persen.
Persentase tersebut berbeda dari versi rekapitulasi KPU yang mereka gugat, yakni Prabowo-Sandi memperoleh 68.650.239 suara (44,50 persen), dan Jokowi-Maruf Amin meraih 85.607.362 suara (55,50 persen).
Sementara, calon wakil presiden nomor urut 02 Sandiaga Uno menjawab soal klaim kemenangan yang berubah-ubah.
Sandiaga Uno mengatakan, data persentase kemenangan yang disampaikan ke Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki basis dan landasan.
"Semua data yang dikumpulkan oleh tim data, tim IT yang kemarin, terkanalisasi di tim hukum," ucap Sandiaga Uno di kediamannya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (14/6/2019) malam.
"Jadi silakan dikroscek, klarifikasi dengan tim hukum," sambungnya.
Ia menegaskan, klaim kemenangan Prabowo-Sandi yang disampaikan ke MK mengalami perubahan dari awalnya 62 persen menjadi 52 persen, memiliki basis data.
"Kami tentu semua sampaikan itu ada basisnya," ucapnya.
Sebelumnya, Bambang Widjojanto, Ketua Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meminta hakim konstitusi mengabulkan permohonan pasangan nomor urut 02 untuk seluruhnya.
Hal ini karena menurutnya pasangan nomor urut 01 Jokowi-Maruf Amin terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pilpres 2019 secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).
"Menyatakan batal dan tidak sah Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 987/PL.01.08-KPT/06/KPU/V/2019," katanya, saat membacakan petitum di ruang sidang lantai 2 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (14/6/2019).
Keputusan KPU itu tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2019.
Dan, Berita Acara KPU Nomor 135/PL.01.8-BA/06/KPU/V/2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara di Tingkat Nasional dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2019, sepanjang terkait hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019.
Atas kecurangan selama penyelenggaraan pesta demokrasi itu, dia meminta MK menetapkan perolehan suara yang menurutnya benar.
Yakni, Jokowi-Maruf Amin sebesar 63.573.169 (48%), dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno 68.650.239 (52%), dengan jumlah total 132.223.408 suara (100,00%)
Selain itu, dia juga meminta membatalkan (mendiskualifikasi) pasangan Jokowi-Maruf Amin sebagai Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019.
Serta, menetapkan pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih periode tahun 2019–2024.
"Memerintahkan kepada termohon untuk seketika mengeluarkan surat keputusan tentang penetapan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sebagai Presiden dan Wakil Presiden Terpilih periode tahun 2019–2024," pinta BW.
"Atau menyatakan pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Maruf Amin, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran dan kecurangan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 melalui penggelembungan dan pencurian suara secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif," imbuhnya.
Selain itu, masih pada petitumnya, BW memerintahkan termohon untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di seluruh wilayah Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Atau, memerintahkan termohon untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulang secara jujur dan adil di sebagian provinsi di Indonesia, yaitu setidaknya di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Lalu di Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, dan Kalimantan Tengah.
"Memerintahkan kepada lembaga negara yang berwenang untuk melakukan pemberhentian seluruh komisioner dan melakukan rekrutmen baru untuk mengisi jabatan komisioner KPU," pinta BW.
"Memerintahkan KPU untuk melakukan penetapan pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipertanggungjawabkan dengan melibatkan pihak yang berkepentingan dan berwenang," urainya.
BW juga meminta MK memerintahkan KPU melakukan audit terhadap Sistem Informasi Penghitungan Suara, khususnya, namun tidak terbatas pada Situng.
"Apabila Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," ucapnya.
Sebelumnya, BW membacakan permohonan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk pemilihan presiden (pilpres).
BW membacakan permohonan di ruang sidang lantai 2 Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (14/6/2019).
Objek sengketa yang pemohon ajukan untuk dibatalkan adalah Keputusan KPU RI Nomor 987/PL.01.8-Kpt/06/KPU/V/2019 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden-Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. (*)
• Kisah Nyata: Polisi Ini Tilang KSAD Saat Terobos Lampu Lalu Lintas hingga Kapolda Minta Maaf
• 5 Berita Populer: Mahfud MD Sebut Kubu 01 Menyerah Tanggapi Kubu 02 hingga Pelecehan di Guci Tegal
• Mantan Preman Melamar Jadi Anggota TNI, Datang dengan Kaos Singlet dan Rambut Gondrong, Hasilnya?