FOKUS : Zonasi PPDB dan Thomas Alva Edison
Hati Nancy Mathews Elliot remuk ketika mendapat kabar pihak sekolah enggan mengajar anaknya karena dianggap terlalu bodoh
Penulis: suharno | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Suharno
Wartawan Tribun Jateng
Hati Nancy Mathews Elliot remuk ketika mendapat kabar pihak sekolah enggan mengajar anaknya karena dianggap terlalu bodoh dan tidak berbakat.
Meski demikian, Nancy yang juga merupakan seorang guru ini tidak ingin memendam rasa kecewanya karena anaknya hanya mengenyam bangku sekolah selama tiga bulan.
Nancy akhirnya memutuskan untuk mengajar sang anaknya di rumah. Hasilnya, sang anak bernama Thomas Alva Edison mampu membuat dan mencetak korannya “Weekly Herald”.
Koran itu dibuatnya di atas gerbong kereta api dan langsung dijualnya kepada para penumpang kereta api.
Tidak hanya berhenti di situ saja, Thomas Alva Edison juga kita kenal dengan sejumlah penemuannya. Sejumlah benda yang ditemukan pria kelahiran Ohio, Amerika tanggal 11 Februari 1847, masih kita rasakan hingga saat ini. Di antaranya, telegraf cetak, pulpen elektrik, karet sintetis, baterai, hingga lampu.
Lalu, bagaimana cara Nancy mendidik anaknya yang ditolak oleh sekolah karena dianggap idot hingga menjadi seorang penemu.
Nancy yang seorang guru, hanya mendidik Thomas Alva Edison belajar membaca, menulis dan berhitung serta membentuk karakter Thomas.
Untuk pengetahuan umum, sang ibu mempercayakan Thomas untuk giat membaca buku. Bahkan ayah Thomas Alva Edison, Samuel Ogden Edison memberikan hadiah 10 sen tiap Thomas merampungkan satu buku nonfiksi atau buku pengetahuan umum.
Hal tersebut membuat Thomas Alva Edison memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar. Sejak kecil, Thomas sudah mempelajari anatomi tubuh hewan dengan cara membedahnya hingga akhirnya menciptakan laboratorium di gerbong kereta untuk menciptakan penemuan-penemuannya.
Mengulas ulang secuil perjalanan pendidikan Thomas Alva Edison, jadi teringat tentang sistem penerimaan peserta didik baru alias PPDB yang memakai zonasi.
Ada masyarakat yang kecewa karena tidak bisa memasukan anaknya ke sekolah yang favorit karena tidak termasuk ke dalam zona yang dekat dengan letak domisilinya, ada pula yang senang karena anaknya tidak perlu pergi jauh untuk menuntut ilmu.
Di sisi lain, sistem zonasi ini juga perlu kajian terkait jumlah anak di suatu zona dengan daya tampung sekolah yang ada di zona tersebut.
Tidak hanya itu saja, ada pula kasus di mana puluhan anak di Kota Semarang yang tidak lolos ke PPDB di sekolah negeri zona asalnya tiba-tiba diumumkan diterima di sekolah yang letaknya sangat jauh di Kabupaten Wonogiri.
Belajar dari kisah Thomas Alva Edison, para guru yang biasanya mengajar di sekolah favorit dengan para siswanya yang pilihan juga harus belajar untuk mendidik siswa yang agak lambat memahami pelajaran.
Selain itu, kini juga harus dihapuskan paragidma sekolah favorit. Orangtua juga harus menghapus pola pikir supaya anaknya pandai maka harus belajar di sekolah favorit. Karena mengutip kata Thomas Alva Edison, “jenius adalah satu persen inspirasi, 99 persen keringat”. (*)