Penurunan Ekspor Bakal Sulitkan Target Pertumbuhan Ekonomi Jateng 7%
Target pertumbuhan ekonomi Jateng hingga 7 persen diperkirakan sulit terwujud, menyusul kinerja ekspor yang belum stabil.
Penulis: rival al manaf | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Target pertumbuhan ekonomi Jateng hingga 7 persen diperkirakan sulit terwujud, menyusul kinerja ekspor yang belum stabil.
Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng mencatat pertumbuhan ekonomi di provinsi ini pada kuartal II/2019 baru mencapai 5,62 persen secara year on year (yoy).
Di tahun-tahun sebelumnya, angka tertinggi pertumbuhan ekonomi Jateng hanya mendekati 6 persen. Jarak dari target semakin terlihat kesenjangannya jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang hanya 3,54 persen.
Kepala BPS Jateng, Sentot Bangun Widoyono mengatakan, pertumbuhan ekonomi saat ini didukung beberapa kategori lapangan usaha. Yang tertinggi diduduki kategori penyedia akomodasi dan makan minum sebesar 19,4 persen.
"Tingginya pertumbuhan dari kategori itu tidak terlepas dari meningkatnya permintaan makanan dan minuman pada momen pemilihan umum lalu," katanya, dalam keterangan tertulis, Rabu (7/8).
Faktor lain yang mendukung pertumbuhan kategori makanan minuman dan akomodasi adalah karena pada kuartal II terdapat momen Ramadan dan Idulfitri yang juga meningkatkan permintaan di tingkat masyarakat.
Kedua momen itu tidak akan hadir lagi pada kuartal ketiga dan keempat. Tetapi, Sentot menuturkan, ada beberapa kategori yang belum tergarap maksimal dan potensinya cukup besar.
Ia menyebut, Industri yang patut didorong untuk mewujudkan target pertumbuhan ekonomi di sisa 2019 ini adalah kategori jasa akomodasi dan pariwisata.
"Kuartal ketiga dan keempat biasanya akan menjadi musim puncak bagi perhotelan, penerbangan, dan pariwisata," jelasnya.
Sentot mengungkapkan, industri yang terus tumbuh diharapkan bisa mewujudkan neraca perdagangan surplus sebagai pendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Defisit
Meski demikian, neraca perdagangan Jateng untuk sektor non-migas kembali defisit pada Juni 2019. Pada pertengahan tahun itu, ekspor barang di luar minyak dan gas turun 36,15 persen menjadi 495,11 juta dollar AS dari bulan sebelumnya mencapai 775,42 juta dolar AS.
Sementara itu impor non-migas pada bulan yang sama mencapai 497,21 juta dollar AS. Dengan begitu, Jateng mengalami defisit sebesar 2,1 juta dollar AS.
"Ya meski hanya 2 juta dollar AS, itu namanya tetap defisit. Ini harus menjadi perhatian setiap OPD di Jateng," ucapnya.
Sentot menyatakan, sektor non-migas diharapkan menjadi andalan untuk mendongkrak ekspor, karena sempat terpantau surplus pada Mei, dan dianggap mempunyai potensi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Satu penyumbang pertumbuhan ekonomi adalah ekspor, dan impor adalah indaktor penghambatnya. Jadi jika kondisinya masih tinggi impor, capaian pertumbuhan ekonomi 7 persen akan semakin sulit," terangnya.
Sentot mengungkapkan, penurunan ekspor di sektor non-migas hampir terjadi di seluruh komoditas. Paling tinggi adalah dari barang perabot dan penerangan rumah yang mencapai 61 persen, atau 43 juta dollar AS.
Sementara itu sektor tekstil yang biasanya menjadi andalan ekspor Jateng juga mengalami penurunan sebesar 28 persen, atau 51,72 juta dollar AS.
"Semoga saja penurunan-penurunan ini tidak berarti permintaan yang menurun dari luar negeri, jadi lebih mudah dipacu lagi ke depan," tukasnya.
Ia menyebut, indikator lain untuk mengukur pertumbuhan ekonomi selain neraca perdagangan adalah investasi. Jika keduanya bisa tumbuh bersama-sama, target pertumbuhan ekonomi 7 persen akan lebih mudah tercapai. (val)