Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Ngopi Pagi

Fokus : Mental Inlander

Entah apa yang akan ditulis oleh Mahbub Djunaidi, jurnalis kawakan yang juga tokoh Nahdlatul Ulama

Penulis: cecep burdansyah | Editor: Catur waskito Edy
tribunjateng/cetak/grafis bram kusuma
Cecep Burdansyah wartawan /Tribun Jateng 

Oleh Cecep Burdansyah

 Wartawan Tribun Jateng

Entah apa yang akan ditulis oleh Mahbub Djunaidi, jurnalis kawakan yang juga tokoh Nahdlatul Ulama, seandainya beliau masih hidup,lalu menyikapi kebijakan Menteri Riset, Teknologi dan PendidikanTinggi, mengenai impor rektor.

Yang saya bayangkan tulisannya pasti membuat pembaca tertawa, tapi bagi orang yang kena sasaran tembaknya, mungkin terasa nyelekit.

Para penggemar tulisan kolom di surat kabar Indonesia, nama Mahbub termasuk yang tidak boleh dilewatkan. Gaya kolom Gus Dur yang dikenal cerdas, bikin kita terbahak, tapi sekaligus satir dan menohok, sepertinya masih kalah oleh tulisan Mahbub.

Jika Gus Dur dibesarkan oleh NU dan tradisi intelektualnya, Mahbub selain dibesarkan oleh NU, juga oleh tradisi jurnalistik.Perbedaannya terletak pada kelincahan. Mahbub menulis selincah penari salsa. Sindirannya, meskipun telak dan nyelekit bagi orang yang kena tembak, tapi sekaligus akan merasa terhibur.

Itu sebabnya mungkin Ajip Rosidi yang dikenal temperamen, tidak marah saat ditulis Mahbub di Kompas edisi 20 Januari 1986, dengan judul Bacaan Paling Menarik Tahun 1986. Saya sampai ngakak membacanya.

Mungkin karena sesama sastrawan, dan sastrawan itu sering dikategorikan mahluk cerdas, sehingga Ajip enteng saja disindir Mahbub. Entah kalau birokrat. Barangkali sekelas menteri pun, kalau ia bodoh, ya wasalam, tulisan itu tak akan terasa apa-apa. Atau malah sebaliknya: marah.

Di Majalah Tempo 10 Agustus 1985, Mahbub menulis tentang perilaku mental rendah diri bangsa Indonesia, yang di matanya, tiada ampun tololnya. Tulisan berjudul “Inlander” itu melukiskan dua hal yang kontradiksi. Di era kolonial tak sedikit orang Belanda geram terhadap pemerintahan di negaranya, karena telah menista bangsa Indonesia.

Ia menyebut misalnya Tuan Brooshoft dan Tuan Van Kol. Kedua orang Belanda ini tak segan mengkritik Pemerintahan Belanda karena agresinya. Akibat penjajahan tersebut, banyak orang pribumi yang kemudian bermental rendah diri. Tunduk pada orang asing.

Sikap tersebut sebagai ekspresi karena merasa bodoh, tuna, laip, dan menganggap orang asing lebih pintar dan lebih segalanya. Mereka suka diejek oleh orang Belanda dengan sebutan inlander.

Di sisi lain, setelah Indonesia merdeka, banyak orang Indonesia tetap bermental inlander. Celakanya, tulis Mahbub, para inlander ini muncul dari mereka yang mempunyai jabatan di pemerintahan. Karena mereka adalah para birokrat, tentu saja di hadapan bangsanya sendiri, apalagi di hadapan rakyat kecil, ia akan jumawa.

Kalau ngomong, selain telunjuk menunjuk, juga tolak pinggang. Sebaliknya di depan orang asing, terutama orang Eropa, ia merunduk-runduk, tak ubahnya seperti rakyat jelata di jaman kolonial. Dari sikap jumawa di depan bangsanya sendiri, akan berubah drastis ketika berhadapan di depan bangsa asing. Berubah jadi cacing yang pasrah diinjak-injak.

Habis membaca tulisan tersebut, saya ingat pada kebijakan Menteri Nasir, soal kebijakan rektor impor. Niatnya bagus, tapi sekaligus merendahkan bangsa sendiri, seolah-olah pendidikan di Indonesia yang tidak maju-maju itu hanya andil rektor dan dosen-dosennya.

Seolah-olah para birokrat, terutama kementerian yang berurusan dengan pendidikan, tidak ikut andil dalam menenggelamkan pendidikan di tanah air. Seolah-olah presiden juga tidak punya andil. Padahal di tangan dia paling menentukan ke arah mana pendidikan akan dibawa, sesuai pembukaan UUD 1945. Seolah-olah yang akan membawa kemajuan pendidikan di Indonesia itu orang asing. Seolah-olah kalau hasil penelitian sudah dimuat di jurnal scopus, kualitas peneltiannya nomer wahid.

Ya, mental inlander, bisik Mahbub ke telinga saya.*

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved