Modus Pengantin Pesanan Makin Marak di Indonesia, Setahun Saja Sudah Ada 20 Kasus

Sesuai data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), tercatat ada 20 kasus modus pengantin pesanan itu.

Editor: deni setiawan
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/ama.
Sekjen Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Anwar Maarif (kanan) bersama Ketua DPC SBMI Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) Mahadir (kiri), Pengacara Publik LBH Jakarta Oki Wiratama (kedua kanan) dan korban kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Monica (kedua kiri) menjawab pertanyaan wartawan saat konferensi pers, di Jakarta, Sabtu (23/6/2019). LBH Jakarta bersama Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang tergabung dalam Jaringan Buruh Migran mengatakan sebanyak 13 perempuan asal Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat dan 16 perempuan asal Jawa Barat menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dengan modus perkawinan (pengantin pesanan). 

TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) makin marak, terutama melalui modus pengantin pesanan.

Sesuai data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), tercatat ada 20 kasus modus pengantin pesanan itu.

"Ada 20 perempuan, baik anak maupun dewasa yang terjadi di Tiongkok (China)," ujar Asisten Deputi Hak Perempuan dan Tindak Pidana Perdagangan Orang KPPA, Destri Handayani kepada Kompas.com di Hotel Aryaduta Jakarta, Rabu (27/11/2019).

Adapun, yang dimaksud "pengantin pesanan" dalam kasus perdagangan orang adalah pernikahan perempuan dengan warga asing melalui peran pihak ketiga.

Destri mengakui, modus tersebut terbilang baru.

Sebab, dari catatan Kementerian PPPA, perdagangan manusia mayoritas menggunakan modus lama.

Modus itu seperti pekerja migran Indonesia ke luar negeri.

Kemudian eksploitasi seksual, jadi anak buah kapal (ABK), atau penjualan anak.

Destri mengatakan, Kementerian PPPA bersama kementerian dan lembaga terkait sudah memelajari modus tersebut.

Salah satu yang perlu diantisipasi agar modus tersebut dicegah, yakni dengan pengecekan dokumen seseorang, terutama yang tinggal di sel-sel migran.

"Itu yang kami antisipasi dengan aparat yang berkaitan."

"Seperti dokumen kependudukan yang dipalsukan, misalnya dari aparat desa, Disdukcapil, hingga Imigrasi," kata dia.

Destri menegaskan, pihaknya telah mendapat mandat dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menekan kasus perdagangan manusia pada lima tahun ke depan.

Mandat itu tak hanya sekitar penekanan kasus perdagangan manusia.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved