Harga Rokok Naik, Saatnya Beralihkah ke Tingwe? Rasakan Sensasi Ngerokok Ngelinting Dhewe
Sekelompok remaja terihat duduk santai di balkon rumah sambil main gadget, Sabtu (28/12). Beberapa dari mereka ada yang sedang meracik tembakau
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sekelompok remaja terihat duduk santai di balkon rumah sambil main gadget, Sabtu (28/12). Beberapa dari mereka ada yang sedang meracik tembakau untuk dijadikan rokok, atau biasa disebut dengan istilah “ngelinting dewe”, tingwe.
Kenaikan cukai yang otomastis membuat harga rokok ikut merangkak naik tidak begitu dipusingkan warga di Kabupaten Temanggung.
Salah satunya adalah Iksan, remaja asal Parakan, Temanggung itu menilai bahwa tingwe adalah salah satu alternatif hadapi kenaikan cukai dan harga rokok batangan yang makin mahal.
Menurutnya, dulu rokok tingwe terkesan aneh, tapi akhir-akhir ini justru banyak remaja di Temanggung beralih dari rokok batangan sigaret ke rokok tingwe.
Selain jauh lebih murah, rokok tingwe juga menciptakan sensasi tersendiri. Mulai dari sensasi meracik, merasakan berbagai varian tembakau dan lain sebagainya. Semakin banyak toko yang menjual tembakau dari berbagai varian citarasa.
Iksan mengaku sudah beralih dari rokok pabrikan ke rokok tingwe sejak tiga tahun ini. Awalnya ia merasakan tidak enak di tenggorokan setelah mengkonsumsi rokok pabrikan pada saat bangun pagi.
Oleh temannya ia disarankan menggunakan rokok tingwe dan ternyata setelah dicoba keluhan tersebut tidak ia rasakan saat merokok tingwe.
"Saya sudah nyaman dan senang dengan rokok tingwe. Tenggorokan tidak sakit," katanya.
Dari segi harga pun rokok tingwe jauh lebih murah, satu kilogram tembakau seharga Rp 60 ribu bisa dipakai belasan orang hingga berbulan-bulan.
Proses meraciknya juga memunculkan sensasi kenikmatan tersendiri. Ia memperkirakan rokok tingwe akan menjadi lifestyle baru.
“Saya aja membawa sekepal tembakau, berminggu-minggu ngak habis dirokok,” imbuhnya.
Di Kota Semarang, terdapat penjual rokok besar yang legendaris yakni ada di Pecinan. Tempatnya bernama Mukti Cafe yang lokasinya berdekatan dengan pintu masuk kawasan Pecinan.
Selain menjajakan kopi, Mukti Cafe juga menjual aneka rokok yang mereka olah sendiri. Biasanya rokok-rokok yang dijual di tempat ini tidak ada di toko kelontong maupun mini market.
Sejak beredarnya isu kenaikan cukai rokok, penjualan rokok di Mukti Cafe tidak lantas langsung turun. Penurunan penjualan rokok mulai terasa sejak dua bulan terakhir.
"Mulai Oktober hingga November baru terasa penjualan turun. Penurunannya sekitar 20%. Dahulu Mukti Cafe masih menjual rokok batang.
Sehingga bisa sedikit mendongkrak penjualan. Tapi kini hanya rokok cerutu dan tembakau linting," papar Radika, Pengelola Mukti Cafe.
Tembakau yang dijual di Mukti Cafe berasal dari berbagai pulau di Indonesia. Namun pasokan terbesarnya masih dari Pulau Jawa.
"Tembakau yang kami olah dan jual sebenarnya juga berasal dari Lombok, Madura, dan Sulawesi. Tapi paling banyak masih dari Jawa," imbuhnya.
Mukti Cafe tidak hanya menjual rokoknya di satu tempat saja. Mereka juga memiliki beberapa reseller yang tersebar di beberapa kota di Jawa, Bali, dan Medan.
"Kami melihat permintaan pasar terhadap jenis rokok tertentu. Kalau rokok batang di sini sudah kalah persaingan dengan rokok mainstream. Tapi justru cerutu dan rokok linting masih bagus," ujarnya.
Selama adanya Mukti Cafe, banyak konsumen yang berusia dari 20 hingga 40 tahun. Angkanya ditaksir mencapai 70%. Sisanya 30% adalah kalangan usia 45 tahun ke atas.
"Kami mencoba mengikuti tren tapi tidak meninggalkan kultur rokok. Cerutu yang kami jual juga memiliki berbagai varian rasa. Mulai dari vanilla, kopi, cokelat, dan rasa lain yang digemari anak muda," bebernya.
Radika berharap pemerintah bisa mengatur regulasi yang disesuaikan dengan pendapatan masyarakat Indonesia. Sehingga naiknya cukai rokok tidak berakibat terjadinya inflasi yang semakin tinggi.
"Harusnya disesuaikan. Jangan asal dinaikkan dengan dalih untuk menutup defisit BPJS atau mengurangi perokok. Tapi juga harus memperhatikan penjual dan petani yang hidup dari tembakau," pungkasnya.
Kami Harap Rokok Tak Semahal Itu
Para perokok di Indonesia harus bersiap tambah biaya pengeluaran karena pemerintah secara resmi akan menaikkan cukai rokok.
Kenaikan cukai dan batasan Harga Jual Eceran rokok berlaku mulai 1 Januari 2020. Sedangkan, pita cukai akan dilekatkan paling lambat 1 Februari 2020.
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas PMK 146/2017.
Dalam ketentuan tersebut, tarif cukai hasil tembakau untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) naik sebesar 23,29 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) meningkat 29,95 persen, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan naik 12,84 persen.
Berdasarkan aturan tersebut, rata-rata cukai naik 23 persen. Kenaikan tersebut membuat rata-rata harga jual eceran rokok diperkirakan meningkat 35 persen dari harga jual saat ini.
Tribun Jateng menanyai beberapa orang yang rutin beli rokok untuk tanggapi terkait rencana kenaikan cukai tersebut. Jika harga rokok tertentu sebungkus Rp 25.000 maka diperkirakan akan naik menjadi Rp 33.750 per bungkus.
"Kalau saya tetap merokok meski harga naik Mas. Dan saya yakin pemerintah tidak akan menaikkan harga rokok sebanyak itu. Biasanya harga rokok naik tak lebih dari Rp 5.000 dalam setahun. Kan jadi aneh jika tiba-tiba harga rokok naik 35 persen," kata Sutadi perokok aktif.
Berbeda lagi tanggapan disampaikan oleh pengemudi transportasi online. Setelah memarkir mobilnya di bawah pohon mangga dekat mesjid, Ridwan lantas duduk santai nyalakan cerutunya. Dia bilang, tetap akan merokok meski harga naik. Tapi dia janji akan mengurangi, dari semula sebungkus isi 16 batang untuk sehari, akan lebih irit, harus cukup untuk dua hari.
"Nggak bisa langsung berhenti. Yang bisa ya dikurangi. Sebungkus buat dua hari," kata Ridwan.
Pemerintah menaikkan cukai rokok, bertujuan untuk pengendalian dan pembatasan konsumsi. Dengan naiknya cukai rokok akan berdampak pada kesehatan dan tingkat keinginan untuk merokok semakin rendah. Yang tak kalah penting adalah supaya rokok tidak terjangkau anak-anak yang belum dewasa. Serta supaya masyarakat makin sehat.
Adanya rencana pemerintah menaikkan cukai tembakau mempengaruhi kehidupan petani tembakau di Temang
gung. Panen raya tahun 2019 bisa dinikmati oleh petani karena harga bagus. Namun setelah masa panen lewat, justru pembelian tembakau dikurangi kuotanya. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) DPD Jawa Tengah, Wisnu Brata, mengungkapkan pembelian tembakau dari petani langsung dikurangi kuotanya oleh perusahaan. Tentu hal itu bikin kecewa petani tembakau yang ada.
"Padahal tahun ini harganya sedang bagus sekali, karena cuaca juga mendukung. Tapi kok September lalu dari kabar yang saya terima, pemerintah melakukan rapat terbatas membahas kenaikan cukai rokok. Ini sangat mengecewakan kami," paparnya.
Ia melanjutkan, terlebih kenaikan cukai dinilai cukup tinggi, yakni 23%. Sedangkan Harga Jual Eceran (HJE) di Januari 2020 akan dinaikkan menjadi 35%. Hal tersebut akan mengurangi penyerapan tembakau ke dalam industri.
"Belum naik saja sudah sangat terasa, apalagi tahun depan kalau sudah naik. Pasar rokok itu berkaitan dengan harga psikologis. Karena bergantung pada pendapatan masyarakat.
Menurut survei yang dilakukan empat tahun lalu, harga psikologis rokok masih Rp 17 ribu. Tapi kalau naiknya tinggi, konsumen akan cari alternatif lain," beber Wisnu.
Alternatif yang dimaksud Wisnu, yakni konsumen akan cenderung mencari rokok ilegal atau tanpa cukai. Tentu hal ini juga akan merugikan pemerintah. Kemudian konsumen juga akan mengkonsumsi rokok legal yang harganya murah.
"Rokok legal murah nanti pasti akan banyak dicari. Kalaupun tidak, konsumen akan memilih berhenti merokok. Maka ini akan berdampak pada penurunan market dan dikuranginya pasokan bahan baku," tegasnya.
Menurut Wisnu, salah satu cara paling efektif untuk memangkas biaya produksi industri rokok yakni dengan mengimpor tembakau dari luar negeri. Hal itu justru menjadi momok yang paling mengerikan, dibandingkan dengan kenaikan cukai rokok.
"Impor itu lebih berbahaya dibandingkan naiknya cukai rokok. Walaupun sama-sama berdampak negatif. Tapi impor paling parah. Pertama kali masuknya impor tembakau dilakukan pada tahun 2003 sebesar 28 ribu ton, kemudian tahun 2010 sebanyak 96 ribu ton, dan terus naik pada tahun 2012 menjadi 150 ribu ton," tutur dia.
Ia menganalisis, angka produksi tembakau nasional per tahun sebesar 175 hingga 220 ribu ton. Maka bisa diambil kesimpulan jika impor tembakau saat ini sudah mencapai 60% lebih.
"Jika kita bicara teori perdagangan internasional, impor yang sudah mencapai angka 65% ke atas sudah tidak bisa lagi dikendalikan. Contohnya kedelai yang sudah terjadi saat ini. Itu yang saya khawatirkan, karena pasokan tembakau petani akan dikurangi," tambahnya.
Dirinya menyakini industri tembakau akan mengutamakan impor karena tidak berurusan dengan orang banyak. Kemudian tembakau yang masuk sudah siap pakai, tidak perlu diolah kembali.
"Parahnya lagi, pembayaran bisa diundud. Kalau ambil dari petani lokal pasti harus tunai. Inilah yang akan dilakukan oleh industri yang membuat harga tembakau lokal terjun bebas dan pasokan dikurangi," ujarnya.
Impor tembakau yang masuk ke Indonesia paling besar berasal dari China. Disusul oleh Zimbabwe, Turki, dan Amerika. Wisnu dan petani sudah berusaha supaya pemerintah bisa mengendalikan impor tembakau.
"Tapi perjuangan ini sangat berat karena kami berhadapan dengan kapitalis besar," ujar dia.
Apabila masih diberlakukan impor tembakau, petani meminta ada aturan 1:2. Apabila impor tembakau sejumlah 50 ton, maka industri harus menyerap tembakau lokal sebesar 100 ton. Wisnu juga takut akan terjadi pemberlakukan standarisasi Tar dan Nicotin yang jadi akal-akalan kartel impor tembakau.
"Khawatir saya jika terjadi pemberlakuan standarisasi seperti tahun 1999. Saat itu tar dan nicotin dibatasi. Otomatis yang diuntungkan adalah para kartel-kartel importir tembakau. Ini jangan sampai terjadi lagi. Itu hanya akal-akalan mereka supaya jatah impor semakin besar," tegasnya.
Utamakan Tembakau Lokal
Ketua Umum APTI, Agus Parmuji, juga ingin pemerintah mengendalikan impor tembakau. Karena hal tersebut yang paling berdampak besar terhadap petani tembakau.
"Naiknya cukai rokok memang berdampak terhadap petani. Tapi yang paling parah yakni impor tembakau. Di awal tahun 2020
pemerintah harus segera memberlakukan regulasi impor dari Permentan (Perturan Menteri Pertanian) 23 tahun 2019 yang berisi izin rekomendasi dan importasi tembakau," ujar Agus.
Ia juga meminta kepada pemerintah untuk tidak merevisi regulasi tersebut, karena di dalamnya ada pasal-pasal yang sangat diharapkan oleh petani. Karena ada pasal yang mengatur penyerapan tembakau lokal lebih diutamakan, dibandingkan impor.
"Penyerapannya 2 banding 1. Dua kali ambil dari petani lokal, satu kali impor. Tapi sejauh ini impor tembakau masih sangat besar dan tidak terdeteksi. Jika regulasi itu mulai diberlakukan, baru akan terdeteksi," tambahnya.
Tapi jika pemerintah masih takut terhadap tekanan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional tentang impor tembakau, maka Agus meminta untuk dibatasi kuotanya. Akan lebih baik lagi jika setiap tahun bisa dikurangi beberapa persen.
"Dibatasi saja kuotanya tidak masalah. Nanti tiap tahun dikurangi dan dalam kurun waktu lima tahun pasti Indonesia akan zero impor tembakau. Apabila itu dilakukan, pemerintah sudah sangat cukup membantu petani tembakau supaya lebih sejahtera. Tapi saat ini juga masih tarik ulur," pungkasnya. (tim)