Human Interest Story
Kisah Maryam Bocah Pengungsi Afganistan: Saya Bersyukur Tinggal di Indonesia tak Mau Balik ke Kesana
Bagi siapapun, pendidikan adalah kebutuhan pokok yang tak boleh ditinggalkan. Tak terkecuali para imigran yang mengungsi di Semarang.
Penulis: Akhtur Gumilang | Editor: Catur waskito Edy
TRIBUNJATENG.COM -- Bagi siapapun, pendidikan adalah kebutuhan pokok yang tak boleh ditinggalkan. Tak terkecuali para imigran yang mengungsi di Semarang.
Tak banyak, namun hampir semua anak antusias. Satu di antaranya adalah Maryam, anak berusia 10 tahun.
Maryam adalah seorang anak dari pengungsi imigran asal Afganistan yang kini tinggal di Wisma Husada Kalibanteng Kulon, Semarang Barat, Kota Semarang.
Maryam bersama kedua orangtuanya kini tinggal di Wisma setelah dipindahkan dari Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Semarang sejak dua tahun lalu.
Maryam bersama sekira sembilan anak lainnya selalu antusias mengikuti les yang diberikan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Terutama saat les matematika.
• Harga Masker Melonjak 200 Persen, Bagaimana Stok di Sejumlah Toko Alkes dan Apotek di Semarang
• El Clasico Spanyol: Bocah Ajaib Vinicius Pecahkan Rekor Messi, Real Madrid Kini Pamuncak
• Hasil Lengkap dan Klasemen Bundesliga: Bayern Muenchen Kokoh di Puncak Klasemen
• Aston Villa vs Man City : Kalahkah Aston Villa 2-1, Manchester City Raih Trofi Ke-7
Maryam dengan sembilan rekan lainnya terlihat bergegas memasuki gedung sambil menenteng buku serta sebuah kursi lipat.
Tak butuh lama bagi mereka untuk menata kursinya berjejer di depan papan tulis.
Gedung les tersebut berada di dalam wisma, tepatnya di aula Wisma Husada.
Pembelajaran dimulai selepas salat magrib.
Maryam yang kini berada di bangku SD kelas 5 itu sangat menyukai hitung-menghitung.
Tiap Senin sampai Kamis, Maryam sering diajar oleh seorang guru yang biasa disebut para anak pengungsi lainnya sebagai Teacher Tiara.
"Kalau pagi sekolah, malamnya baru belajar di sini.
Enak banget kalau diajari sama Teacher Tiara.
Saya jadi gampang ngerjain matematika," kata Maryam yang sudah fasih berbahasa Indonesia kepada Tribun Jateng beberapa waktu lalu.
Bagi Maryam, tinggal di sebuah tempat penampungan bersama para pengungsi dari berbagai negara, bukanlah perkara gampang.
Dia bersama anak-anak lainnya dari berbagai latar negara dan suku harus membaur.
Untuk mempermudah komunikasi, Maryam pun sehari-hari menggunakan Bahasa Indonesia dengan anak dari negara lainnya.
"Sekalian biar cepat berbaur juga dengan penduduk sekitar.
Saya bersyukur, tinggal di sini (Indonesia), orang-orangnya baik kepada saya," ceritanya.
Beragam kegiatan dan acara berhasil menghibur Maryam dan anak lainnya.
Bahkan, bisa menjadi obat untuk melupakan kenangan masa lalu di negaranya.
Beberapa anak masih trauma. Maryam dan teman-temannya menyatakan tak mau balik ke negaranya
Seperti dirasakan oleh teman Maryam yakni Alisyah.
Seperti Maryam, Alisyah berasal dari Afganistan.
Alisyah secara terang-terangan tak mau lagi pulang ke negara asalnya.

Selain keamanan yang kacau, Ali juga terbayang mengenai tragedi pembunuhan di jalanan.
Seingatnya, banyak anak-anak seusianya yang diculik.
Mereka pun dipaksa ikut berperang. Itulah sepintas masa lalu yang berusaha diceritakan Ali.
"Di Afghanistan, anak kecil seperti saya diculik.
Harus ikut perang. Saya nggak mau balik ke sana.
Orangnya kejam. Enakan di Indonesia, orangnya baik-baik. Juga ramah-ramah," kata bocah tambun berusia 11 tahun tersebut.
Sementara, Teacher Tiara, sehabis mengajar berkesempatan memberikan pengalamannya.
Dara muda berusia 23 tahun ini menuturkan, selain matematika, dirinya mengajar Bahasa Inggris dan Indonesia.
"Les ini khusus bagi anak-anak yang tinggal di sini.
Sudah berjalan sejak beberapa tahun terakhir.
Jangan salah, mereka juga punya mimpi. Seperti Maryam, dia ingin jadi dokter," ungkap Tiara tersenyum lebar.
Dia mengatakan, les yang diadakan di Wisma Husada jadi kegiatan rutin dari PKBI Kota Semarang.
Les ini untuk menyiapkan anak-anak pengungsi masuk ke sekolah.
"Ini nama programnya migran care. Biar mereka nggak ketinggalan pelajaran di sekolah.
Rata-rata, mereka sekolah di swasta. Dibayari juga oleh NGO asing," pungkas Tiara. (Tribunjateng/akhtur gumilang).