Forum Guru
Forum Guru Hidar Amaruddin: Toleransi, Semangat, dan Kerja Sama yang Kita Butuhkan
Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk “social distancing” yang kemudian berganti menjadi “physical distancing”, dengan maksud kita semua mulai berja
Oleh Hidar Amaruddin, M.Pd.
Guru SD Supriyadi Semarang
Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk “social distancing” yang kemudian berganti menjadi “physical distancing”, dengan maksud kita semua mulai berjaga jarak antarsatu dengan yang lain. Kebijakan itu dimaksudkan untuk memutus rantai COVID-19 yang sudah menyebar luas dan memakan banyak korban.
Sehingga anak-anak sekolah diliburkan dan diminta untuk belajar dari rumah. Hingga tulisan ini dibuat, korban penderita Covid-19 semakin bertambah, dari yang dirawat, sembuh, bahkan banyak sekali korban yang sudah meninggal.
Kebijakan pembelajaran daring (online) pun dilakukan sebagai pengganti pembelajaran yang ada di sekolah. Guru dan siswa bisa saling berinteraksi lewat grup-grup media sosial dari Whatsapp, Skype, Google Hangout, atau penugasan berupa video praktik kepada anak.
Akan tetapi, setiap hal baru pasti akan menimbulkan kekagetan dan kegugupan yang berujung pada pro dan kontra. Bagi keluarga yang pro dengan kebijakan ini, menganggap daring efektif (untuk keadaan saat ini) apabila disesuaikan dengan porsinya.
• Hotline Semarang : Iuran BPJS Kok Masih Naik
• TIPS: Apa yang Harus Anda Dilakukan Ketika Mengalami Sesak Napas?
• Mahfud MD Puji Yasonna Laoly Terkait Pelepasan Narapidana di Tengah Wabah Virus Corona
• Ini Prakiraan Cuaca Menurut BMKG Kabupaten Sragen Hari ini, Selasa 7 April 2020
Pembelajaran daring pun dilakukan dengan penuh toleransi dalam mengerjakan. Siswa di rumah mampu meminta tolong siapa pun untuk membantunya belajar, ada orang tua ataupun saudara. Siswa pun diperbolehkan mengoperasikan gawai yang bertujuan sebagai penunjang pembelajaran daring.
Pengumpulan tugas juga diperpanjang durasinya, fleksibel, dan kondisional. Bagi yang kontra menganggap, bahwa pembelajaran daring ini memberatkan siswa dalam aspek kognitif. Karena tugas diberikan secara kontinu. Pertanyaannya yang muncul, bukankah “toleransi” pembelajaran daring sudah dilakukan sedemikian rupa?
Di media sosial juga munculkritik yang ditujukan kepada guruagar pembelajaran daring tidak membuat anak“downshiftting”, karena tugas yang diberikan memang dilakukan dan diberikan sesuai jadwal yang sudah ditetapkan tiap masing-masing sekolah.
Namun, saya sebagai praktisi pendidikan menganggap bahwa kalimat “tugas bertubi-tubi” tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Guru berusaha semaksimal mungkin, berupaya memberikan pembelajaran yang terbaik untuk siswa (dengan bertatap muka daring atau penugasan di rumah), begitupun dengan orang tua juga sudah berusaha sebaik mungkin untuk membantu anaknya dalam menjalankan proses pembelajaran daring.
Berhenti saling menyalahkan
Yang perlu dilakukan saat ini, meminimalisir ujaran atau ucapan keluhan dan saling menyalahkan. Yang dibutuhkan tri pusat pendidikan: keluarga-sekolah-media sosial (lingkungan), adalah kritik yang membangun, kerjasama yang harmonis. Agar semua pihak dapat menjalankan peranan tanpa mengalami beban psikis.
Selanjutnya, sebisa mungkin berkepala dingin dalam mengomentari perihal apa pun di media sosial. Karena bahasa tulis di media sosial menjadi satu-satunya alat komunikasi antara guru dengan orang tua, diperlukan kejernihan pikiran untuk menerjemahkan dan memahami maksud dari guru ataupun orang tua.
Bahasa media sosial amatlah terbatas, sehingga kita perlu menurunkan ego dan meredam emosi saat sedang berkomunikasi. Atau bisa juga menggunakan emotikon dalam berkomunikasi, untuk menegaskan ekspresi kita saat sedang menulis pesan, agar tidak terjadi salah paham.
Jika seandainya seorang guru atau orang tua menuliskan candaan saat berkomunikasi, tak lain hanya untuk menjadikan suasana komunikasi agar lebih cair dan tidak kaku. Supaya pengawasan anak selama di rumah bisa berjalan dengan maksimal.