Raja Thailand Ulang Tahun, Beri Hadiah Hukuman Penjara Seumur Hidup Buat Narapidana Ini

Raja Thailand yang berulang tahun menghadiahkan kelonggaran hukuman mati kepada dua narapidana pembunuhan pada 2014.

Editor: sujarwo
JEROME TAYLOR/AFP/GETTY IMAGES/CNN
Raja Thailand meringankan hukuman dua orang terpidana mati karena membunuh backpacker Inggris. 

TRIBUNJATENG.COM, BANGKOK - Raja Thailand yang berulang tahun menghadiahkan kelonggaran hukuman mati kepada dua narapidana pembunuhan pada 2014, dengan mengubah hukuman mereka menjadi hukuman seumur hidup.

Laporan yang dilansir CNN pada Jumat (14/8/2020), raja Thailand mengeluarkan pengampunan massal dari kerajaan bagi mereka yang terpidana mati yang telah kehabisan semua opsi banding dan belum pernah menerima pengampunan kerajaan.

Dua pria Burma, Zaw Lin dan Wai Phyo, yang juga dikenal sebagai Win Zaw Htun, ditangkap hampir 2 minggu setelah korban pembunuhan mereka ditemukan. Pada 2015, mereka berdua dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Kemudian, hukuman mereka berubah menjadi hukuman penjara seumur hidup, kata Nakhon Chompuchat, pengacara pembela kedua pria itu, setelah sang raja memberikan hadiah kepada mereka pada Jumat.

“Kali ini akan menjadi yang pertama kalinya. Jadi untuk kali ini mereka berhak menerimanya. Mereka tidak lagi dalam antrian eksekusi," kata Chompuchat.

Pengampunan kerajaan dibuat dalam semangat ulang tahun raja, untuk menawarkan para terpidana kesempatan untuk "membalikkan perilaku mereka dan menjadi warga negara yang baik," kata teks undang-undang tersebut.

Dua pria terpidana tersebut dihukum penjara karena menjadi pelaku pembunuhan sepasang backpacker asal Inggris di sebuah pulau di Thailand pada 2014. Hanna Witheridge yang berusia 23 tahun dan David Miller yang berusia 24 tahun ditemukan pada September 2014 di sebuah pantai di Koh Tao, sebuah pulau kecil di Teluk Thailand. Kedua pasangan asal Inggris ditemukan dalam keadaan setengah telanjang dan menderita cedera kepala yang parah. Berdasarkan laporan yang ada, Witheridge juga mengalami pemerkosaan.

Profil kasus Zaw Lin dan Wai Phyo, berasal dari negara bagian Rakhine, Myanmar, bekerja di industri perhotelan di pulau Koh Tao, Thailand pada saat pembunuhan terjadi. Setelah penangkapan mereka, mereka mengaku bersalah, tetapi kemudian menarik kembali pernyataannya dan mengatakan pengakuan bersalah mereka dibuat atas dasar tekanan.

Kasus pembunuhan di pulau Koh Tao yang populer sebagai destinasi menyelam, kemudian menarik perhatian media dari seluruh dunia. Pengacara pembela untuk kedua pria tersebut serta-merta menuduh, bahwa polisi telah mempercepat penyelidikan untuk menjaga citra Thailand sebagai salah satu tujuan wisata paling populer di dunia.

Pihak pembela berargumen bahwa penyelidikan itu cacat karena "dugaan kesalahan penanganan bukti forensik, penyalahgunaan tersangka dan intimidasi saksi," menurut pernyataan sebelumnya yang dikeluarkan oleh Jaringan Hak Pekerja Migran, sebuah kelompok hak asasi yang membantu tim pembela.

Polisi Thailand mengatakan bukti forensik, termasuk sampel DNA dari puntung rokok yang ditemukan di dekat mayat, telah menjerat kedua pria itu dalam perkara. Pada pengajuan banding pertama menguatkan putusan bersalah pada 2017. Kasus ini naik banding lagi, yang menyebabkan Mahkamah Agung menegakkan putusan dan hukuman mati.

Mahkamah Agung memutuskan bahwa bukti forensik "jelas, kredibel, dan rinci", dan membantah anggapan bahwa polisi telah salah menangani kasus tersebut. Pada 2018, Thailand mencabut moratorium de facto atas penggunaan hukuman mati, mengeksekusi seorang pria dengan suntikan mematikan dalam eksekusi pertama negara itu sejak Agustus 2009, kata kelompok hak asasi manusia. (*)

Sumber: Kompas.com
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved