RESENSI BUKU

Dualisme Ulama Perempuan

Dalam buku Ulama Perempuan Madura, ada sebuah dimensi yang menarik untuk dibahas. Dimensi ini lahir dari frasa "Ulama Perempuan".

Penulis: - | Editor: moh anhar
TRIBUN JATENG
Cover buku "Ulama Perempuab Madura" 

Buku : Ulama Perempuan Madura

Penulis : Hasanatul Jannah

Penerbit : IRCiSoS

Tahun : Oktober, 2020

No ISBN : 978-623-7378-83-9

DAPAT dimafhum dengan mudah bahwa ulama adalah orang yang paham betul ilmu agama. Berbagai cabang ilmu agama dapat dikuasai, utama ilmu yang koheren dengan kehidupan sehari-hari. Maka sebutan ulama mucul dari kualitas seseorang yang sudah sampai pada taraf menguasai. Dalam tahap belajar, seseorang tidak bisa dikatakan ulama melainkan ‘santri’. Meski akhir-akhir ini sebutan ulama mungkin menjamur di kalangan masyarakat tanpa disertai kualitas. Fenomena tersebut muncul dari kalangan orang yang tidak paham makna ulama lebih dalam.

Ulama kadang salah diberi pengertian, yaitu orang yang dianggap bisa memberikan ceramah. Meski kadar kemampuan yang dimilikinya masih jauh di bawah rata-rata. Hal seperti ini harusnya ditanggapi serius oleh orang yang paham bagaimana ulama. Bagaimana standar kualifikasi yang mencukupi untuk seseorang disebut ulama.

Selanjutnya, istilah perempuan yang nanti jadi sandingan kata ulama sehingga membentuk frasa ‘Ulama Perempuan’, adalah istilah biologis. Ia dibedakan dari laki-laki karena beberapa bagian (fisik) yang memang tidak sama dengannya. Bagian-bagian ini yang kemudian membentuk stigma dan pandangan bahwa perempuan tidak bisa disamakan secara mutlak. Dalam hierarki kehidupan, perempuan selalu dinomorduakan.

Secara biologis memang perempuan tidak akan pernah bisa disamakan dengan laki-laki. 

Tetapi pokok bahasannya ditekankan bahwa perempuan tetap tidak boleh sama dalam ranah menuntut ilmu sekalipun. Sehingga di Indonesia, perempuan baru bisa masuk ke dalam pesantren sekitar tahun 1920. Padahal Islam masuk di Indonesia jauh-jauh tahun sebelum itu. Itulah faktor mengapa kadang teologis menyingkirkan perempuan. Maka negara yang religiusitasnya tinggi, hak-hak perempuan akan semakin cenderung tenggelam.

Dalam buku Ulama Perempuan Madura, ada sebuah dimensi yang menarik untuk dibahas lebih lanjut. Dimensi ini lahir dari frasa ‘Ulama Perempuan’ yang menjadi objek penelitian penulis. Tidak dapat disalahkan ketika frasa tersebut masih dikepung makna yang ambiguitas.

Pertama, makna ulama perempuan, adalah ulama baik laki-laki atau pun perempuan. Serta selalu memfokuskan pusat kajiannya terhadap isu yang menimpa perempuan mutakhir. Isu kesetaraan yang dideklrasikan sekuler barat yang kemudian diadopsi oleh ulama perempuan bagian ini.

Sebut saja KH. Husein Muhammad yang menggagas seputar islam dan gender di Indonesia. 

Kedua, ulama perempuan, adalah semua orang berjenis kelamin perempuan dan mencukupi kapasitas keulamaan. Standar yang sudah ditentukan untuk mencapai sebutan ulama. Pandangan yang umum, ulama adalah kata yang hanya disematkan kepada ahli agama laki-laki. Tidak diketahui, bahwa ulama dalam gramatika bahasa Arab tidak hanya terkhusus bagi laki-laki. Ia bisa mencukup seluruh jenis kelamin manusia, selama mecukupi syarat sebagai ulama.

Pembahasan buku terpusat pada empat kabupaten di Madura, diharapkan bisa membangkitkan gelora keulamaan dalam diri perempuan. Ditulis dengan bahasa yang sangat sederhana dan mudah dimengerti. Meski terdapat istilah bahasa Madura, tetapi tidak lupa diberi terjemah dan pengertian secara ringkas. Mudah dipahami dan tidak mengerutkan dahi. (*)

 *)Peresensi: Moh. Rofqil Bazikh, Garawiksa Institute Yogyakarta.

Sumber: Tribun Jateng
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved