Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Parenting

Wahai Orangtua, Anak yang Sering Dimarahi Rentan Depresi

SERINGKAL tingkah anak memancing emosi orangtua, apalagi jika sedang sibuk atau capai. Hal ini mudah memicu orangtua marah

Penulis: Akhtur Gumilang | Editor: moh anhar
TRIBUN JATENG
Ilustrasi orangtua memarahi anak MODEL: AYU (IBU), DINDA DAN ALMA (ANAK) 

SERINGKALI tingkah anak memancing emosi orangtua, apalagi jika sedang sibuk atau capai. Tingkah laku anak yang tidak sesuai terkadang dengan mudah dapat membuat orangtua marah. Namun, refleks marah yang dilakukan para orangtua kepada buah hatinya jangan pernah dianggap sepele.

Beberapa di antaranya beranggapan, masalah tuntas saat orangtua habis memarahi anaknya, lalu meminta maaf. Sementara, ada juga orangtua yang merasa menyesal setelah memarahi anaknya. Mereka khawatir kemarahannya dapat berdampak buruk dan meninggalkan luka mendalam pada si anak.

Hal itu contohnya sering dirasakan oleh Agnia Pratiwi. Ibu dua anak ini mengaku tak luput dari emosi saat mengurus anak-anaknya tersebut. Namun, saat rasa amarah sudah di ubun-ubun, perempuan yang akrab dipanggil Nia ini cenderung diam.

Nia bilang, biasanya mulai marah jika anak-anaknya bandel dan susah diberitahu, terutama dalam hal salat lima waktu. Kemudian, ia juga akan emosi apabila kedua anak laki-lakinya melakukan sesuatu yang membahayakan dan tidak baik. Contohnya, ketika kedua anaknya berantem dengan anak lainnya, mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan mengganggu.

"Kalau sudah tiga kali diberitahu dan masih ngeyel aja, baru saya mulai marah. Kalau marah saya cenderung diam dan memelototi. Kalau parah banget, biasanya saya pukul pakai satu lidi. Tapi mukulnya paha sama pantat aja. Jangan ke kepala. Buat efek jera," kata ibu berusia 33 tahun ini.

Meski demikian, ia selalu menyesal sehabis memarahi anaknya. Bahkan, tindakannya itu sering terbayang terus-menerus. Apalagi, jika anaknya menangis saat dimarahi. Kadang, ia juga merasa amat sedih jika suaminya ikut-ikutan memarahi kedua anaknya itu.

Namun, semua itu Nia lakukan agar anak-anaknya disiplin dan tahu mana yang baik dan buruk. Tiap hendak ingin marah, Nia selalu berusaha agar tidak membentak atau meneriaki anaknya. Ia juga menjauhi ucapan kata-kata tidak pantas. Sebab, ia khawatir kata-kata tak pantas itu ditiru oleh anak-anaknya.

"Kalau marah ya diam. Aku kalau marah memang ga bisa banyak ngomong dan ngomel. Habis selesai marah dan kepala saya mulai dingin, baru saya kasih tahu salah-salahnya di mana. Itu biar pesan dan maksudnya sampai ke anak. Sebisa mungkin tidak terkesan meneror anak," ujar ibu rumah tangga yang tinggal di Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang ini.

Sementara, hal berbeda justru dirasakan ibu satu anak bernama Nabila Ayu Sukma. Perempuan yang akrab dipanggil Nabil ini mengaku bingung saat ia dibuat marah karena tingkah laku anaknya. Kadang, Nabil hanya bisa pendam, sesekali menangis karena tak tahu apa yang ia harus lakukan saat anaknya tak sesuai keinginannya.
Biasanya, Nabil dibuat marah oleh anaknya yang baru menginjak SD kelas 1 itu saat main terlalu jauh. Lalu, ia juga sering marah saat anaknya keseringan main game online sampai lupa waktu. Otomatis, tindakan marah yang spontan dilakukan ibu berusia 30 tahun ini adalah dengan menyita HP anaknya.

"Saya seringnya kalau marah lebih baik dipendam saja. Dipendam bukan berarti diam. Tapi, saya buat tindakan yang membuat anak saya sadar akan kesalahannya. Misalkan, kalau main game online terus, selain HP-nya disita. Saya ga bakal kasih uang jajan buat beli paketan," cerita warga Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga ini.
Ia bilang mengomel bukan tindakan yang tepat untuk memberi nasehat kepada anak. Maka, sebisa mungkin, ia akan mengambil tindakan yang membuat anaknya kapok dan merasa bersalah. Ia terapkan hal ini sejak dini supaya anaknya bisa menjadi pribadi yang bertanggungjawab.

Luh Putu Shanti Kusumaningsih SPsi MPsi, dosen Fakultas Psikologi Unissula, menjelaskan, setiap orangtua memiliki versi memarahi anak yang berbeda-beda. Orangtua mesti memiliki caranya masing-masing dalam memarahi anak. Ada orangtua yang mungkin marahnya cukup dengan diam. Lalu, ada juga orangtua yang marahnya meletup-letup, banyak ngomelnya. "Marah di sini sebenarnya memiliki tujuan untuk menyampaikan pesan kepada anak. Marah kepada anak ini sangat relatif," katanya.

Luh Putu Shanti menguraikan,  memarahi anak biasanya berisikan tentang unsur-unsur pelajaran didikan dari orangtua. Unsur didikan ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang memang dianut oleh keluarga tersebut. Jadi, ketika sang anak telah melanggar nilai yang dianut keluarga ataupun masyarakat sekitar, maka marah perlu dilakukan supaya mengarahkan anak kembali ke jalurnya. Namun, cara memarahinya ini yang harus diubah. Bukan dengan bentakan, emosi yang meluap-luap, hingga teriak-teriak.

Untuk mengarahkan anak, pasti diperlukan tindakan memarahi. Marah dalam tanda kutip, bukan berkonotasi marah yang teriak-teriak, membentak, dan sejenisnya. Marah tidak perlu dengan cara-cara seperti itu. Cukup dengan nada tegas, penuh penekanan. Barangkali itu, kata Luh Putu Shanti, sudah sangat cukup dalam memberi arahan apabila anak melanggar nilai-nilai yang dianut.

"Apabila anak sering dimarah-marahi, pasti berefek buruk pada proses tumbuh kembangnya. Apalagi, jika marahnya dengan nada tinggi disertai ucapan merendahkan. Misalnya, kamu tidak pintar, kamu nakalnya luar biasa, dan lain sebagainya. Nah, jika informasi negatif itu terus diterima sang anak tanpa ada arahan, maka pasti akan berdampak buruk," terangnya.

Luh Putu Shanti mengingatkan adanya dampak jangka panjang apabila anak sering dimarahi terus adalah rasa kepercayaan anak kepada orangtua hilang. Hubungan antara orangtua dengan anak pun jadi tidak dekat. Karena takut tiap ketemu orangtua selalu dimarahi, maka sang anak pun jadi serba tertutup. Akhirnya, sang anak mencari pelampiasan di tempat lain yang bagi si anak nyaman. Yang jelas, sering memarahi akan mengubah anak menjadi pribadi yang minder, tidak percaya diri saat bergaul dengan orang lain, tertutup. bahkan bisa juga jadi orang yang mudah membenci sesuatu.

"Dampak jangka panjangnya ke anak sangat luas sekali. Tiap anak, tentu efek jangka panjangnya berbeda-beda. Namun yang jelas, efeknya akan serba negatif ke anak. Anak-anak di usia TK atau SD sedang memasuki fase belajar memahami norma-norma. Maka, seharusnya orangtua tidak perlu sering memarahi anaknya. Menjadi orangtua itu memang perlu kesabaran. Orangtua harus paham dan menerima bahwa anak sedang berada di fase ini," paparnya.

Lebih lanjut, Luh Putu Shanti mengatakan,  ketika ingin menerapkan berbagai aturan atau memberitahu perihal benar-salah kepada anak memang perlu disampaikan dengan bahasa yang baik. Sebab, sekarang sudah bukan zamannya orangtua banyak mengomel seperti zaman dahulu. Meski demikian, bukan berarti orangtua tidak boleh memarahi anaknya. Boleh marah, asalkan orangtua harus bisa mengontrol diri.

Dia menjelaskan, orangtua ketika marah jangan sampai mengambil tindakan memukul, baik pelan apalagi keras. Meluapkan amarah dengan memukul sangat amat tidak dianjurkan untuk anak. Maka, sebaiknya orangtua perlu membentuk figur dengan gesture yang menandakan bahwa dirinya sedang marah, tanpa harus membentak-bentak, bahkan memukul.

"Orangtua bisa menampilkan gaya dan menampilkan gesture-gesture tertentu ketika marah. Sehingga, ketika sedang emosi dan marah, orangtua cukup menunjukan gesture-gesture tersebut supaya anak tahu apabila orangtuanya sedang marah. Dengan begitu, orangtua tak perlu lagi membentak hingga memukul anak saat marah," tandasnya. (akhtur gumilang)

(gum)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved