Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Focus

Makan Siang Itu

Aparat penegak hukum hendaknya berbuat adil terhadap para pelaku tindak kriminal ataupun korupsi dengan tidak memandang pangkat dan kedudukan.

Penulis: rustam aji | Editor: moh anhar
TRIBUN JATENG
Focus Tribun Jateng Rabu 21/10/2020 

MAKAN adalah kebutuhan. Setiap manusia tentu butuh makan. Tidak ada orang yang tidak butuh makan. Sekalipun nabi, dia juga butuh makan. Yang tak butuh makan, barangkali malaikat.

Makan adalah sesuatu yang lumrah bagi makluk hidup. Hewan pun bahkan butuh makan untuk bisa tetap bertahan hidup. Tidak makan sehari, badan bisa gemetaran. Bahkan, mungkin bisa pingsan.

Makan sebagai sebuah kebutuhan tentu tidak ada masalah, lumrah-lumrah saja. Orang yang lapar, pastinya butuh makan. Meski begitu, sebagai manusia, dalam makan pasti ada etikanya. Apalagi sebagai aparat penegak hukum, tentu tidakbisa menjamu sembarang orang di tempat publik.

Namun, beberapa hari lalu, kita dikejutkan dengan peristiwa jamuan makan siang oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kajari Jaksel) Anang Supriatna kepada tersangka kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte dan tersangka kasus perjalanan Djoko Tjandra, Brigjen Prasetijo Utomo. Pemberian makan siang itu terjadi saat proses pelimpahan berkas dan tersangka kasus tersebut pada Jumat 16 Oktober 2020.

Informasi mengenai jamuan makan siang untuk kedua tersangka itu awalnya disampaikan oleh kuasa hukum Brigjen Prasetijo Utomo, Petrus Bala Pattyona di akun Facebook-nya.
Sebagai masyarakat awam, tentu itu kita menangkapnya sebagai sesuatu yang istimewa, meski Kajati Anang menerangkan pemberian makan siang itu tidak dikhususkan untuk para tersangka. Menurutnya, pemberian makan itu salah satunya atas pertimbangan keamanan. Bahkan, menurutnya, tim jaksa juga diberi makan siang.

Senada dengan Anang, Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejaksaan Agung Amir Yanto menganggap bahwa memberikan makan kepada tahanan tersebut sudah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP).

Menurutnya, "menjamu itu istilahnya PH (penasihat hukum) terdakwa," kata Amir. Menurut dia, bagi setiap tahanan yang diserahkan kepada Kejaksaan, sesuai SOP akan mendapat jatah makan siang dengan konsumsi senilai dengan yang sudah dianggarkan (kompas.com).

Tapi, kenapa harus Kajati sendiri yang melakukan itu? Apalagi, bila dicermati, ruangan untuk tempat makan itu, tidaklah seperti kantin. Terlalu mewah rasanya kalau itu disebut kantin. Karena mirip sebuah rungan kantor dengan perlengkapan meja dan komputer.

Hemmm… begitu istimewanya kah kedua tersangka tersebut? Padahal, kasus yang melibatkan keduanya tengah menjadi perhatian publik.

Meski itu dianggap biasa, namun masyarakat melihat itu sebagai sebuah ketidakdilan dan tak pantas. Aparat penegak hukum mestinya memperlihatkan cara-cara yang elegan agar masyarakat tidak “sakit hati”.

Apalagi, di tengah riuhnya demonstrasi menolak Omnibus Lawa UU Cipta Kerja, di mana banyak pula yang telah menjadi tersangka karena menentang undang-undang tersebut. Apakah mereka para tersangka demonstran yang menolak UU Cipta Kerja juga diperlakukan sepertu dua jenderal di atas, "dijamu" makan dengan menu "kantin"?

Karena itu, demi memperlihatkan keadilan hukum di negeri ini, hendaknya aparat penegak hukum bisa berbuat seadil-adilnya terhadap para pelaku tindak kriminal ataupun korupsi dengan tidak memandang pangkat dan kedudukan. Sehingga, apa yang disangkakan masyarakat bahwa hukum di negeri ini tumpul ke atas dan tajam ke ke bawah, tidaklah benar.

Makan memang sebuah kewajaran, namun ketika itu tidak ditempatkan pada tempatnya, maka bisa menjadi fitnah. Apalagi, yang "dijamu" adalah tersangka. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved