FOCUS
Ikhwal Adab
Sudah sehebat apa pun, telah mencapai langit lapis ketujuh sekalipun ketinggian ilmunya, di hadapan guru, seorang santri tetaplah santri.
Penulis: achiar m permana | Editor: moh anhar
Penulis: Achiar M Permana, wartawan Tribun Jateng
SETELAH Kurawa mengangkat Resi Drona dalam Perang Agung Baratayuda, persoalan muncul di kubu Pandawa. Tidak satu pun ksatria Pandawa yang mau menjadi panglima di medan laga Kurusetra.
Arjuna, pemanah paling titis di Wiracarita Mahabarata, enggan berangkat ke medan perang. "Bagaimana mungkin, saya menghadapi guru sendiri. Saya bisa saja melepaskan anak panah dengan mata terpejam, tapi saya tidak bisa melakukannya kalau anak panah itu mengarah ke tubuh Guru Drona," kata Arjuna.
Ya, Arjuna tidak pernah takut berhadapan dengan siapa pun. Prabu Nilawatakencana dari Kerajaan Gilingwesi yang terkenal sakti mandraguna, pernah dikalahkannya. "Tapi tidak mungkin saya melawan guru sendiri," katanya.
Werkudara setali tiga uang. "Siapa pun bakal aku hadapi. Bahkan dewa sekalipun. Tapi tidak dengan Guru Drona," kata Sang Bimasena.
Kembar Nakula-Sadewa juga sama-serupa. "Lebih baik saya mati daripada menghadapi Guru Drona," kata mereka berdua, kompak.
Si sulung, Puntadewa, apalagi. Dia terkenal sebagai ksatria lembut, yang tidak suka jalan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan. Dia bahkan rela kehilangan kerajaan, ketimbang terjadi perang saudara di Kurusetra.
Apa lacur, gendang perang telah ditabuh. Korban sudah telanjur jatuh.
"Bagaimanapun harus ada yang maju sebagai senapati. Kurawa sudah menunjuk Resi Drona, Pandawa juga harus memilih panglima untuk menghadapinya," kata Kresna, penasihat cum pengatur strategi Pandawa.
Untunglah, pada diri Kresna tersimpan kelimpadan. Sebagai titisan Batara Wisnu, dia memiliki kelebihan: ngerti sadurunge winarah. Tahu rahasia masa depan. Kemudian, Kresna pun memilih Drestajumna, adik Drupadi, yang pada akhirnya bisa menewaskan Drona di medan laga.
Baca juga: Hasil Liga Champions Tadi Malam Manchester City Vs Porto, Aguero Cetak Gol Setelah Puasa 231 Hari
Baca juga: Puisi Derai-Derai Cemara Chairil Anwar
Baca juga: Berhasil Gagalkan Penyelundupan Narkoba, Kalapas Kedungpane Terima Penghargaan dari Kapolda Jateng
Bukan soal cara Drona menjemput ajal atau cara Drestajumna unggul ing yudha, melainkan keengganan para Pandawa menghadapi Drona, guru merekalah, yang ingin saya ceritakan. Ini persoalan ketakziman. Ini persoalan rasa hormat pada guru.
Pada peringatan Hari Santri Nasional, yang jatuh pada hari ini--22 Oktober--cerita para Pandawa yang enggan menghadapi sang guru di medan laga, melejing ke kepala saya. Ikhwal ketakziman pada guru, rasa tawaduk pada kiai, merupakan karakter yang melekat pada diri seorang santri.
Di hadapan Drona, sehebat apa pun Arjuna, sedigaya apa pun Werkudara, mereka tetap santri. "Kata Sayyidina Ali karamallahu wajhah, 'Aku adalah hamba sahaya bagi orang yang mengajariku, walau hanya satu huruf'. Dhak ngonoa, Kang?" tiba-tiba, Dawir, sedulur batin saya nyeletuk dari balik tengkuk.
Sudah sehebat apa pun, telah mencapai langit lapis ketujuh sekalipun ketinggian ilmunya, di hadapan guru, seorang santri tetaplah santri. Bagi santri, ketakziman adalah adab.
"Padhakke Sampean...," tiba-tiba, Dawir nyeletuk lagi, kali ini kembali dengan nada ngece seperti biasanya.
Selamat Hari Santri... (*)