FOKUS
Merapi Bersiaga
Sejak status aktivitas Merapi ditetapkan siaga, gelombang pengungsi bertebaran di sejumlah kota, di sekitar gunung berapi aktif tersebut.
Penulis: Moh Anhar, wartawan Tribun Jateng
SEJAK status aktivitas Merapi ditetapkan siaga, gelombang pengungsi bertebaran di sejumlah kota, di sekitar gunung berapi aktif tersebut. Tercatat sudah hampir 2.000 warga, di antaranya di Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten, dan Sleman, meninggalkan rumah dan mencari tempat perlindungan aman. Di empat daerah tersebut telah ditetapkan status keadaan darurat.
Pengungsi ini didominasi kelompok rentan, seperti lanjut usia, anak-anak, balita, ibu hamil, ibu menyusui, disabilitas maupun mereka yang sakit.
Gunung Merapi di perbatasan wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah mengalami peningkatan dalam beberapa hari terakhir, data BPPTKG Yogyakarta menginformasikan belum terlihatnya kubah lava baru di puncak kawah, yang merupakan tanda awal erupsi gunung. Meski demikian, erupsi diprediksi akan terjadi dalam waktu dekat, mengingat dorongan magma sudah mencapai puncaknya.
Dalam situasi seperti ini, yang harus terus diingatkan adalah sistem peringatan dini, dan kesiapan evakuasi. Warga yang berada di wilayah berpotensi bencana, tentu ribuan jiwa. Menggiring semua warga sebagai antisipasi pencegahan jatuhnya korban, bukan perkara gampang.
Sebagai catatan, erupsi gunung Merapi pada Oktober 2010 telah menyebabkan 353 orang tewas, termasuk Mbak Maridjan, juru kunci Gunung Merapi.
Kengerian dampak letusan Merapi ini masih bisa terlihat hingga kini. Kita bisa mengunjungi Sleman Vulcanic Park, Cangkringan, Sleman, DI Yogyakarta. Kawasan yang berjarak sekitar 12 km dari puncak Gunung Merapi ini menyisakan puing bangunan yang hangus terbakar. Bahkan, perabotan rumah tangganya yang hitam melegam.
Suasana di Cangkringan, Sleman, yang kini justru dikembangkan sebagai destinasi wisata ini sebagai pengingat untuk bisa melakukan persiapan dini menghindari bahaya. Ada kabar, jumlah pengungsi yang tersebar di sejumlah posko pengungsian justru berkurang. Hal ini dikarenakan sejumlah warga merasa bosan sehingga mereka memilih untuk kembali ke rumah masing-masing.
Bila aliran magma di gunung itu sudah sampai di puncaknya, maka sewaktu-waktu bisa terjadi deformasi atau penggelembungan tubuh gunung akibat dorongan magma dari dalam perut Merapi dalam waktu dekat.
Pemerintah beserta relawan nampak sudah berupaya memberikan fasilitas bagi pengungsi. Di antaranya, pembangunan sekat-sekat bilik sebagai pencegahan covid-19 dalam kondisi pandemi seperti sekarang ini. Tentu ini sebagai perlakuan yang berbeda, dibanding aktivitas pengungsian Merapi yang lampau.
Pengecekan kesehatan serta pendampingan pendidikan anak pengungsi dalam situasi darurat terlihat sudah dilakukan. Bahkan, ada pula penyiapan tempat pengungsian dan menjamin keamanan serta kesehatan ternak.
Ditengarai, bila warga enggan mengungsi ini terkait kehidupan ekonomi mereka. Bila mengungsi, maka mereka tentu saja meninggalkan mata pencaharian sehari-harinya, seperti bertani, beternak, ataupun berdagang.
Informasi kebencanaan bukan hanya harus terus diperbarui, melainkan juga bagaimana akses informasi itu bisa tersebar cepat. Kehadiran kemajuan teknologi informasi harus bisa dirasakan oleh masyarakat, lapisan bawah sekali pun. Kesadaran warga untuk memprioritaskan keselamatan diri harus diperkuat. Sehingga, ketika peristiwa alam ini letusan gunung berapi ini terjadi, jatuhnya korban jiwa bisa diantisipasi. (*)