Khotbah Jumat
Khotbah Jumat Singkat Perdamaian dan Keadilan Sebuah Tuntutan Ajaran Tauhid
Hari ini Jumat 20 November 2020 umat muslim laki-laki kembali melaksanakan ibadah sholat jumat. Berikut materi khotbah jumat singkat.
Penulis: Muhammad Khoiru Anas | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM - Berikut materi khotbah jumat singkat dengan tema perdamaian dan keadilan sebuah tuntutan ajaran tauhid.
Mendengarkan khotbah jumat adalah amalan bernilai pahala tinggi bagi muslim laki-laki.
Hari ini Jumat 20 November 2020 umat muslim laki-laki kembali melaksanakan ibadah sholat jumat.
Baca juga: Khotbah Jumat Singkat Melaksanakan Pekerjaan Ibadah
Baca juga: Khotbah Jumat Singkat, Adab Menjaga Lisan dan Tangan
Baca juga: Khotbah Jumat Singkat Merenungkan Fenomena Bencana Alam dari Gempa Bumi hingga Tanah Longsor
Baca juga: Khotbah Jumat Tahun Baru Islam, 10 Keistimewaan 10 Muharram dan Puasa yang Diutamakan Nabi Muhammad
Mendengarkan khotbah pun memiliki banyak manfaat.
Seperti sebagai penguat keimanan kepada Allah SWT hingga dapat menjadi tuntunan dalam menjalani kehidupan yang penuh fana.
Berikut ada sebuah materi khotbah jumat singkat dengan tema perdamaian dan keadilan sebuah tuntutan ajaran tauhid.
Materi khotbah ini ditulis Prof Dr H Suparman Syukur MA guru besar di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.
Materi khotbah jumat ini dikutip dari Yayasan Pusat Kajian dan Pengembangan Islam (YPKPI) Masjid Raya Baiturrahman Jawa Tengah.
Kotbah I
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
الحمد لله رب العالمين الذي خلق الإنسان أحسن التقويم وأرشدهم إلى سبيل المرشدين وأنعمهم نعما وفير ثم أدخلهم جنة النعيم. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وهو الملك القدير، وأشهد ان محمدا عبده ورسوله الأمين المرسل رحمة للعالمين لتتميم الأخلاق الكريم. أللهم صل وسلم وبارك على محمد وعلى آله وصحبه أجمعين إلى يوم الدين. أما بعد
فيا أيها الذين امنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وانتم مسلمون. اعوذبالله من الشيطان الرجيم : لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Hadirin rahimakumullah, bersyukur kepada Allah adalah mutlak karena manusia tercipta untuk memenuhi kehendak Allah Yang Maha Esa, yakni menjadi khalifah di muka bumi ini.
Hal itu terbukti bahwa Allah tetap dan selalu dan akan terus memberi rizki, berkah, rahmat dan pertolongan agar kita semua mampu menjalankan segala perintah dan menjauhi laranganNya.
Hal itu terbukti, bahwa atas ridhaNya pula pada hari ini kita tetap mendapatkan rahmat untuk menunaikan ibadah jumah di masjid yang agung ini, semoga hal itu tidak lain merupakan manifestasi peningkatan taqwa kita kepada Allah subhanahu wata’ala.
Selawat serta salam semoga selalu tercurahkan bagi junjungan kita Nabiyullah Muhammad SAW para istri, sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Para Nabi sebagaimana kita ketahui mengemban misi utama ketauhidan untuk membimbing umatnya kejalan perdamaian dan keadilan dan kebenaran.
Menanamkan ketauhidan yang berimbas kepada kehidupan yang damai dan adil adalah tugas utama para Nabi yang harus selalu diulang, ditekankan dan diperbaharui terus menerus sehingga umatnya kelak mampu memahami dan menyadari untuk melakukannya sesuai sifat tersebut.
Revitalisasi sifat dan perilaku terpuji bagi setiap muslim dapat dimulai dari bagaimana seorang muslim dapat mengintegralkan keimanan kepada Allah ke dalam perbuatan dan tingkah lakunya di dunia ini.
Hal itu dapat dimengerti oleh siapapun, karena secara umum misi risalah Rasulullah tidak lain adalah untuk menyempurnakan perilaku manusia dalam penghambaan dirinya kepada Allah SWT.
Rasulullah bersabda, Innama bu’itstu liutammima makarim al-akhlaq (sesungguhnya aku diutus ke bumi ini hanya untuk menyempurnakan akhlak).
Kesempurnaan akhlak berarti bagaimana manusia mampu meningkatkan segala perilakunya berdasarkan sifat-sifat terpuji dalam rangka penghambaan diri kepada Allah.
Oleh karena itu segala perilaku manusia harus berdiri kokoh diatas tiga pilar yaitu iman, islam, dan ihsan.
Triloogi ajaran tersebut akan melahirkan kesadaran betapa pentingnya hidup yang baik penuh kedamaian dan keadilan dalam segala segi kehidupannya.
Oleh karena itu Rasulullah SAW mengingatkan kita tentang tiga hal tersebut melalui pembelajaran Allah kepada Nabi yang disampaikan oleh Malaikat Jibril AS, sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا أَبُو حَيَّانَ التَّيْمِيُّ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ مَا الْإِيمَانُ قَالَ الْإِيمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَبِلِقَائِهِ وَرُسُلِهِ وَتُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ قَالَ مَا الْإِسْلَامُ قَالَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ وَلَا تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ قَالَ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ وَسَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا إِذَا وَلَدَتْ الْأَمَةُ رَبَّهَا وَإِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبِلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ فِي خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ الْآيَةَ ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ رُدُّوهُ فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا فَقَالَ هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ جَعَلَ ذَلِك كُلَّهُ مِنْ الْإِيمَانِ
Hadist tersebut menggambarkan ibarat Rasulullah seorang murid yang sedang belajar dihadapan gurunya.
Saat itu beliau sedang ditempa materi pokok tentang dasar perilaku manusia melalui iman lalu diimplementasikan dalam perbuatan melalui rukun Islam, dan kemudian dianjurkan untuk selalu meningkatkan perbuatannya mencapai keikhlasan dalam berbuat untuk mencapai tingkat ihsan.
Dengan demikian usaha untuk meningkatkan perilaku terpuji, seorang muslim harus benar-benar memahami posisi mereka sebagai hamba Allah.
Oleh karena itu ia harus mampu menyadari bagaimana ia harus berbuat, berperilaku, dan bagaimana ia harus bersyukur kepada Allah.
Berbagai tugas dan kewajiban itu jika diamati dengan saksama sebenarnya terletak pada sejauh mana seorang muslim mampu mengimplikasikan peran tauhid dengan kehidupan manusia sebagai implementasi kewajiban manusia di hadapan kemahakuasaan Allah.
Perasaan religusitas yang mendalam itu akan memiliki dampak positif ketika seseorang mampu memandang bahwa kedhidupan itu adalah bersama, saling dan tolong menolong berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah.
Usaha manusia untuk mencapai slogan itu ia harus memapu menjawab beberapa hal berikut.
Siapakah aku, apa makna dari hidup, untuk apa aku hidup, mengapa aku dihidupkan dan akan kemana kehidupan berakhir?
Berbagai pertanyaan religius filosofis yang kurang lebih sama dengan pertanyaan siapakah manusia itu? Apa makna hidup dari seorang manusia? Untuk apa manusia hidup?
Pertanyaan semacam ini bagi sebagian orang bukanlah hal yang penting.
Menjawab hal ini bisa saja bagi mereka hanya membuang-buang waktu.
Mereka lebih memilih bermain-main dengan produk tekhnologi yang sungguh memabukkan.
Pertanyaan seperti ini bagi mereka hanya jalan untuk mengingkari keadaan zaman saat ini.
Zaman yang bagi mereka tidak butuh sebuah makna, tidak butuh sebuah penjelasan, tidak memerlukan.
Jawaban dari berbagai pertanyaan itu, seorang manusia harus memahami karakteristik dan sifat dasar mansuaia sebagai homo religius.
Konsep homo religiosus ini pertama dipopulerkan oleh seorang ahli agama berkebangsaan Rumania yaitu Mircea Eliade.
Homo religius adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak di alam semesta, alam materi,alam tumbuh-tumbuhan,alam binatang dan alam manusia.
Pada umumnya manusia beragama selalu bertindak dengan apa yang diajarakan dan dituntut di dalam ajaran keyakinnanya.
Seandainya dia bukan seorang homo religius, maka dia dapat di kelaskan dalam homo non-religius.
Manusia jenis ini sangat banyak kita temui di zaman modern ini.
Dengan kekuatan rasionalnya yang menganggap bahwa sesuatu yang memiliki bentuk materiallah yang nyata dan dapat dipercayai, sedangkan segala sesuatu yang immaterial adalah dongeng-dongeng zaman dahulu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Pilar dasar yang menyangga keyakinan itu adalah يأيها الناس اعبدوا ربكم الذى خلقكم والذين من قبلكم لعلكم تتقون
Ayat tersebut menekankan bahwa akhir perasaan religiusitas manusia adalah 'ketaqwaan' melalui kepercayaan yang mutlak (tauhid).
Perkataan tauhid sudah tidak asing lagi bagi setiap pemeluk Islam.
Kata-kata itu merupakan kata benda kerja (verbal noun) aktif yang merupakan derivasi dari kata 'wahid' yang artinya satu atau esa.
Berasal dari makna dasar itu, maka kalimat tauhid memiliki maksud menyatukan atau mengesakan, juga bisa diambil makna generiknya 'mempersatukan' hal-hal yang terserak-serak atau terpecah-pecah.
Kata itu dalam istilah ilmu kalam diciptakan oleh para mutakallimun (ahli teologi dialektis Islam).
Kata-kata itu dimaksudkan sebagai paham memahaesakan Tuhan, ia disebut juga sebagai paham Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bentuk harfiah kata-kata tauhid sendiri tidak terdapat dalam kitab suci Alquran, yang ada dalam Alquran adalah kata-kata ahad atau wahid.
Meski demikian istilah itu memang secara tepat mengungkapkan isi pokok ajaran kitab suci Alquran itu.
Pemahaman terhadap kalimat tauhid sebenarnya mengungkapkan inti ajaran semua Nabi dan Rasul yang diutus ke setiap kaum dan sampai kepada tampilnya Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.
Itulah sebenarnya ajaran tentang bagaimana manusia harus berbuat di dunia ini sesuai dengan sifat-sifat terpuji yang telah diajarkan para Nabi dan Rasul.
Sifat-sifat yang diajarkan Nabi, jika dirangkum menjadi suatu jargon dalam kehidupan tidak lain adalah kedamaian dan keadilan' untuk mencapai hidup bahagia di dunia dan bahagia di akhirat bersama-sama.
Alquran yang diturunkan sebagai pedoman bagi seluruh umat tidak lepas dari ajaran tentang nilai perdamaian dan keadilan.
Bahkan sejarah mencatat bagaimana Nabi Muhammad memperjuangkan keduanya sebagai hal yang penting untuk dicapai.
Allah menyampaikan perintah melaksanakan perdamaian dan keadilan dalam Alquran, salah satunya terdapat dalam QS Al-Hujurat ayat 9 dan Al Maidah ayat 8.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
"Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil."
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Kedua ayat tersebut memberikan penekanan kepada manusia untuk berbuat damai dan adil.
Perdamaian dan keadilan yang disampaikan Allah dalam Alquran dalam pandangan Nur Cholis Madjid merupakan prinsip universal yang harus senantiasa dipegang, termasuk dalam membedah ayat-ayat yang lain, sebab Islam sangat menghargai keduanya.
Jika terdapat ayat tentang qital atau qishash sejatinya pembacaanya tidak boleh lepas dari prinsip keadilan dan perdamaian sebagai prinsip universal.
Sehingga pembacaan terhadap ayat-ayat semacam tersebut tidak menimbulkan pemahaman yang salah, dan membawa Islam pada wajah yang tidak ramah dan timpang.
Bahkan pensyariatan agama Islam merujuk pada konsep perdamaian dan keadilan sebagai cita-cita Islam sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad dalam dakwahnya.
Inti ajaran tauhid yang pada gilirannya membawa perasaan seseorang kepada sikap perdamaian dan keadilan.
Secara primordial telah ada pada dari setiap manusia, baik di zaman sekarang ini maupun mereka yang hidup di masa pra Islam, yakni perasaan ketauhid dan kepercayaan sebelum Islam.
Rasanya masih perlu membicarakan masalah hubungan tauhid dan sikap percaya atau beriman kepada Allah.
Hal itu diperlukan, karena dalam pandangan keagamaan pada umumnya, bahwa kaum muslimin memiliki kesan bertauhid itu hanyalah berarti beriman atau percaya kepada Allah bagi kaum muslim dan tidak bagi kaum lainnya.
Padahal jika mau lebih teliti memahami isi Alquran, bahwa mereka yang dahulunya memusuhi Muhammad Rasulullah dari kaum musyrikin Mekkah adalah kaum yang benar-benar percaya kepada Allah.
Perhatikan QS Az Zumar ayat 38 dan 39 sebagai berikut.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلْ أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُون
"Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka, Siapa yang menciptakan seluruh langit dan bumi? Pastilah mereka akan menjawab, Allah. Katakan, Apakah telah kamu renungkan sesuatu (berhala) yang kamu sembah selain Allah itu? Jika Allah menghendaki bahaya atasku, apakah mereka (berhala-berhala) itu mampu melepaskan bahayaNya? Dan jika Dia menghendaki rahmat untukku, apakah mereka (berhala-berhala) mampu menahan rahmatNya? Katakan (Muhammad), cukuplah bagi Allah kepadaNya lah bertawakal bagi mereka yang mau bertawakal)."
Lihat pula QS Al Ankabut 29: 63 sebagai berikut:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
"Dan sungguh jika kau Muhammad tanyakan kepada mereka, siapa yang menurunkan air hujan dari langit, sehingga dengan air itu dihidupkan bumi sesudah kematiannya? Pastilah mereka akan menjawab, Allah. Katakan alhamdulillah! Tetapi kebanyakan mereka itu tidak berakal)."
Firman-firman yang merupakan penuturan tentang kaum kafir itu dengan jelas membawa kita kepada kesimpulan bahwa tauhid tidaklah cukup dan tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan bagaimana sikap kita kepadaNya.
Penuturan Alquran itu sebenarnya menunjukkan bahwa siapapun memiliki dasar sifat yang terpuji, baik orang kafir maupun orang yang beriman.
Bedanya adalah bagi orang kafir sifat itu tidak dikembangkan melalui penghambaan diri kepada Tuhan, sedangkan bagi orang muslim sifat-sifat terpuji itu justru berkembang seiring dengan keimanan mereka kepada Tuhan.
Oleh karena itu berikut ini disajikan pemahaman yang benar tentang tauhid uluhiyyah dan rububiyyah.
Uraian tentang sistem kepercayaan kaum musyrik Arab Jahiliyyah di atas itu dapat disimpulkan dengan pasti bahwa percaya kepada Allah tidaklah dengan sendirinya.
Sebab percaya kepada Allah semacam itu masih mengandung kemungkinan percaya kepada hal-hal selain Allah dalam keilahian.
Hal ini fakta yang cukup realistis. Manusia pada umumnya menyadari dan percaya kepada Allah, namun kepercayaannya tidak heginis murni terlepas dari kemusyrikan.
Perhatikan firman Allah,QS Yusuf juz 12 ayat 103-106.
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ(103)وَمَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ(104)وَكَأَيِّنْ مِنْ ءَايَةٍ فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ(105)وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ (106)
"Sebagian besar manusia itu, betapapun kau (Muhammad) inginkan, tidaklah beriman. Padahal engkau tidak meminta dari mereka upah sedikitpun. Ini tidak lain adalah peringatan untuk seluruh alam. Dan betapa banyaknya ayat di seluruh langit dan bumi yang lewat pada mereka, namun mereka berpaling. Dan tidaklah mereka beriman kepada Allah melainkan mereka juga adalah orang-orang musyrik)."
Teguran yang berupa sindiran itu merupakan problem kemanusiaan yang berupa pemahaman politeisme, bukan ateisme.
Oleh karena itu program pokok Alquran adalah membebaskan manusia dari belenggu pemahaman dan kepercayaan kepada banyak tuhan dengan mencanangkan dasar pemahaman dan kepercayaan yang terungkap dalam kalimat, al nahyu wa al ithbat, (negasi konfirmasi) yaitu kalimat la ilaha illallah (لاإله إلا الله ) yang diterjemahkan sebagai 'Tidak ada tuhan selain Allah'. (Nurkholish Madjid. Islam Doktrin dan Perdaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1995, 79).
Proses pembebasan diawali dari proses negasi, yaitu pembebasan martabat manusia dari kepercayaan kepada hal-hal yang palsu.
Demi kesempurnaan kebebasan itu, manusia harus mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang hak dan benar.
Hal itu amat penting, karena hidup tanpa kepercayaan sama sekali adalah hal yang mustahil.
Sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman komunisme.
Seseorang dapat memulai dari tidak percaya sama sekali, namun kekosongan keimanan itu memberi tempat bagi timbulnya kepercayaan baru, yakni melalui keercayaan yang bersifat konfirmatif.
Kebebasan yang tak terbatas dan tidak bertanggungjawab pada hakekatnya bertentangan dengan hakekat martabat kemanusiaan.
Kebebasan pada hakekatnya terwujud, jika disertai dengan ketundukan tententu, yaitu ketundukan kepada yang secara intrinsik benar, benar pada diri sendiri, tidak terpaksa akibat faktor luar yang tidak sejati.
Kepercayaan seperti itu justru mendapat dukungan dan aplaus dari ahli filsafat modern Huston Smith, ia menyatakan submission (in Arabic Islam) was the very name of the religion that surfaced through the Koran, yet its entry into history occasioned the greatest political explosion the world has known. (Huston Smith: Beyond the Post-Modern Mind. New York, Crossroad, 1982, 141).
Sikap yang harus dilakukan sebagai pembebasan hakekat martabat manusia dari kepercayaan politeisme itu dapat dilalui melalui dua cara.
Pertama, melepaskan diri dari kepercayaan kepada yang palsu.
Kedua dengan pemusatan kepercayaan hanya kepada yang benar.
Perhatikan Surat Al Ikhlas dan Surat Al Kafirun, yang menurut Ibnu Taimiyyah merupakan landasan tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.
Tauhid Rububiyyah, sebelumnya harus memahami makna kata-kata al rabb yang menjadi sumber derivasi kata-kata al rububiyyah, ia berarti sayyid (tuan), al malik (raja), al murabbi (pendidik), al muslih (pembenar), dan al ma’bud (yang disembah).
Tauhid Rububiyyah berarti mempercayai Allah sebagai, pencipta, pemberi rizki, memiliki kerajaan, sebagai tuan, pendidik, pembenar, dan pengatur. (Abu Bakr Jabir al Jazairi. ‘Aqidat al Mu`min al Jazair, Diwan al Matbu’at al Jami’ah, 1984, 89).
Kitab al Dar al Manthur, Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim, Ibn al-Anbari meriwayatkan di dalam al-Masahif, dari Sa’id ibn Mina` Maula Abi al-Bukhturi, ia mengatakan, pada suatu saat al Walid ibnu al Mughirah, al ’Asi ibn Wail, al Aswad ibn al Mutallib dan Umayyah ibn Khalaf bertemu dengan Rasulullah SAW.
Mereka berkata, wahai Muhammad kiranya kita menyembah sesembahanmu, dan engkau menyembah sesembahan kita, kita bersama-sama di dalam masalah kita, jika kita benar terhadap sesembahan kita, maka anda telah mendapatkan bagian kebenaran itu, juga jika anda yang benar dengan sesembahanmu, maka kita juga boleh mendapat bagian dari kebenaran itu.
Lalu dari situlah turun Surat Al Kafirun.
Revitalisasi sifat terpuji melalui pembumian tauhid menuju perdamaian dan keadilan harus terwujud.
Oleh karena itu setiap mukmin harus mampu memahami konsep rububiyah secara mendasar.
Memahami makna al rabb sebagai pendidik, pembenar, dan pemberi rizki, tidak bisa manusia lepas tangan dan hanyalah memanjatkan do’a dan kepercayaan kepada Tuhan.
Hal itu karena Maha Pencipta pada hakikatnya tidak pernah melakukan sesuatu terlepas dari historisitas yang dilakukan manusia di bumi.
Sebagai pendidik, Allah tidak memerlukan apa-apa dan tidak memiliki tujuan apa-apa, dan Ia mampu menciptakan apa-apa buat siapa dan apa saja.
Manusia dan apa saja yang bersifat dahir di bumi ini, ternyata tidak sepenuhnya mampu menangkap dan merasakan adanya pendidikan dari Tuhan, kecuali jika pendidikan itu disampaikan melalui realitas cosmos yang terasa, terdengar dan atau terlihat oleh manusia dan makhluk lainnya yang secara biologis dirasakan oleh indra dan terpikirkan oleh akal bagi manusia melalui kematangan keilmuannya.
Filsafat Krisna dalam cerita Mahabarata menekankan adanya empat pengorbanan yang harus dilakukan, jika manusia ingin mencapai kehidupan yang damai dan adil.
Pertama, korban secara material bagi rakyat jelata.
Kedua korban perasaan bagi para petapa.
Ketiga korban jiwa bagi para pejuang kesatria.
Keempat korban ilmu pengetahuan bagi pada pendidik dan teknokrat.
Pengorbanan yang disebut terakhir itu paling tinggi bagi martabat kemanusiaan.
Pengorbanan terhadap ilmu pengetahuan, berarti seseorang memiliki ilmu pengetahuan untuk melenyapkan kebobdohan, kemudian melakukan tindakan tanpa melihat hasil dan tujuan yang akan dicapainya yaitu perdamaian dan keadilan.
Ia melakukan tindakan dan perbuatan itu hanya karena kewajiban, dan orang yang mampu melakukan kewajibannya tanpa mengharap sesuatu itu adalah berbuat darma, dan yoga.
Itulah orang yang akan mendapatkan pahala dan berada dalam kebaktian.
Ungkapan filosofis yang mengacu kepada pemahaman deontologis itu, jika ditimbang melalui pernyataan religious filosofis islami, maka menunjukkan kepada perbuatan seorang mukmin yang kuat pendirian tentang ketauhidan.
Perhatikan ayat Alquran Surat Al Mujadalah 58:11 menyatakan.
يرفع الله الذين امنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير
"Allah akan meninggikan orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang dberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Secara hermeneutis, dapat dipahami bahwa orang mukmin yang mengharapkan terwujudnya perdamaian dan keadilan itu, akan mendapat martabat kemuliaan disisi Tuhannya jika dia beriman dan memiliki ilmu pengetahuan dan mampu mengimplimentasikan dalam tindakan.
Oleh karena itu Allah mengakhiri ayat tersebut dengan pernyataanNya bahwa Ia akan selalu melihat dan menyaksikan siapa saja orang-orang yang mau melakukan tindakan dengan baik dan terpuji dalam rangkan menuju hidup yang damai dan adil.
Tindakan yang dimaksud di atas bersifat neutral, artinya tergantung motivasi dorongon kejiwaannya.
Jika tindakannya itu didasari dengan kepercayaan diri kepada Tuhan dan ia melakukannya dengan penuh tanggungjawab atas kewajiban sebagai pengganti Tuhan di bumi ini, maka ia adalah seorang yang bermartaban karena kesaksiannya melalui ketauhidan untuk mencapai perdamaian hidup yang didasari dengan rasa keadilan.
Martabat kemanusiaan, dengan demikian akan tercapai melalui keyakinan atas Pencipta (Khaliq) dan keyakinan melakukan apa yang menjadi kewajiban di muka bumi.
Penggabungan secara vertikal dua pendekatan itu merupakan keharusan bagi setiap mukmin yang sejati.
Betapapun seorang mukmin itu, ia adalah makhluk yang bersifat biologis yang terkait dengan ruang dan waktu.
Ruang dan waktu bersifat metafisis, akan tetapi pengejawatahan keduanya sangat terikat dengan metode yang bersifat epistemologis.
Tata surya yang dalam terminologi klasik dipahami sebagai hal yang sangat metafisis, ternyata melalui perkembangan keilmuan menjadi sesuatu yang sangat realistis karena terkait dengan sunnatullah yang tidak lain adalah hukum alam yang bersifat pisik yang eksploitir untuk mencapai kedamaian hidup dan keadilan bagi semua makhluk.
Demikianlah melalui pemahaman seperti yang disebut terkhir itu sangat sensitif jika dihadapkan pada keyakinan yang selama ini berlaku, karena sebagian banyak 'keyakinan islami' saat ini masih belum mampu menembus batas-batas sakralitas transendental yang cukup kokoh menuju profanitas yang terkait erat dengan metodologi keilmuan yang nyata.
Tidak kurang seorang Mohammed Arkoun menyadarinya, bahwa bangunan keyakinan yang ada pada diri muslim, masih saja tercover lebih rapat dengan keyiknan yang secara essensial bersifat religious dari pada keyakinan yang didasarkan pada hasil penelitian historis yang terkait dengan sejarah perkembangan ide (history of ideas), sejarah sistem pemikiran (history of systems of thought), sejarah psikologi (historical psychology), dan antropologi budaya (cultural anthropology). (M. Arkoun: Rethinkig Islam, Common Question, Uncommon Answers, 1994: 75.
Kerancuan keyakinan semacam itu menyebabkan tidak sedikit para sarjana muslim menghadapi kesulitan dalam menciptakan meteode keilmuan untuk menciptakan perdamaian dan keadilan untuk peningkatan martabat dan sifat terpuji kemanusiaan muslim melalui keyakinan monoteisme.
Muhammad Al Ghazali juga mengingatkan agar pengembangan metode pemahaman dan keilmuan menjadi tulang punggung peningkatan keimanan dan ketauhidan, yang pada gilirannya akan memperkokoh sifat terpuji manusia dalam menjalankan tugas kehidupan.
Beriman kepada yang ghaib bukan berarti mengimaninya dengan wahm (utopis) akan tetapi dengan tindakan nyata yang terpuji sesuai dengan sifat-sifatnya yang di dasari ketakwaan kepada Allah, sehingga manusia pada akhir selalu berada di bawah naungan keridaan Ilahi, mencapai perdamaian dan keadilan dalam kehidupan. Amin.
Khotbah 2
الحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالمِيْنَ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى أَشْرَافِ الأَنْبِيَاءِ وَالمرْسَلِيْنَ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالمسْلِمَاتِ وَالمؤْمِنِيْنَ وَالمؤْمِنَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَةِ
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا وَمَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظَلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِى دِينِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ الهُدَى وَالتُّقَى وَالعَفَافَ وَالغِنَى
اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِى الأُمُورِ كُلِّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْىِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ وُلَاةَ أُمُوْرِنَا، اَللَّهُمَّ وَفِّقْهُمْ لِمَا فِيْهِ صَلَاحُهُمْ وَصَلَاحُ اْلإِسْلَامِ وَالْمُسْلِمِيْنَ اَللَّهُمَّ أَبْعِدْ عَنْهُمْ بِطَانَةَ السُّوْءِ وَالْمُفْسِدِيْنَ وَقَرِّبْ إِلَيْهِمْ أَهْلَ الْخَيْرِ وَالنَّاصِحِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ ومَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدّيْن
وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Demikian materi khotbah jumat ini, semoga bermanfaat. (amk)
TONTON JUGA dan SUBSCRIBE