Berita Jateng
Citra Ayu: Jateng Masih Subur Perbudakan Seksual
Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi KJHAM, Citra Ayu mengungkapkan berbagai kekerasan terhadap perempuan masih subur terjadi di Jawa Tengah.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Kepala Divisi Informasi dan Dokumentasi KJHAM, Citra Ayu mengungkapkan berbagai kekerasan terhadap perempuan masih subur terjadi di Jawa Tengah.
Khususnya kasus perbudakan seksual.
Pasalnya berdasarkan data LRC-KJHAM dari 154 kasus kekerasan terhadap perempuan di tahun 2020 didominasi oleh kasus perbudakan seksual.
"Tahun ini kami menangani 81 kasus perbudakan seksual, rinciannya dari Kabupaten Semarang 51 kasus, Kota Semarang 43 Kasus sisanya di berbagai Kabupaten/kota di Jateng," ujarnya saat dihubungi Tribunjateng.com, Rabu (25/11/2020).
Citra menegaskan, kasus perbudakan seksual yaitu kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat korban seperti ayah korban, pacar, paman dan lainnya.
Pihaknya pernah menangani kasus perbudakan seksual paling parah terjadi di Kota Semarang yang terjadi pada akhir tahun 2019 lalu.
Pelaku merupakan seorang notaris yang melakukan perbudakan seksual terhadap anak tirinya.
Korban mengalami perbudakan seksual dari usia anak-anak hingga dewasa atau kuliah.
Bahkan, pelaku melakukan kekerasan seksual menggunakan benda-benda lain yang dimasukan ke vagina korban.
Pelaku juga tidak kenal tempat dalam melakukan aksinya.
"Kami melakukan pendampingan kepada korban hingga vonis hukum kepada pelaku dijatuhkan," katanya.
Dia mengatakan, kasus perbudakan seksual untuk tahun 2020 lebih dominan dikemas dalam hubungan pacaran.
Jadi pelaku menjadikan korban sebagai pacar lantas dipaksa melakukan hubungan seksual hingga hamil.
"Ada yang tidak bertanggung jawab dan memilih melarikan diri. Adapula korban terpaksa menikah dengan pelaku kekerasan seksual," ungkapnya.
Di sisi lain, selama masa pandemi ini, kata Citra, ada pergeseran kasus pelecehan seksual berupa cyber sex.
Yakni korban dipaksa mengirimkan foto telanjang dengan serangkaian ancaman jika tak dipenuhi permintaan pelaku.
Ancaman berupa diputus, foto atau video sebelumnya yang telah dikirim ke korban akan disebar dan ancaman lainnya.
"Dalam kasus ini ketika kami melaporkan ke pihak kepolisian pelaku tidak dijerat pasal kekerasan seksual melainkan UU ITE.
Sebab belum ada undang-undang khusus kekerasan seksual jadi bisanya UU ITE," bebernya.
Selain kasus perbudakan seksual, lanjut Citra, LRC-KJHAM juga mencatat kasus KDRT sebanyak 26 kasus, Perkosaan 23 kasus, Pelecehan Seksual 16 kasus, Kekerasan dalam Pacaran 6 kasus, Buruh Migran 1 kasus, dan Trafiking 1 kasus.
Dari ratusan kasus itu terdapat 160 perempuan menjadi korban.
Berdasarkan usia korban, kasus tertinggi dialami oleh perempuan dewasa yaitu sejumlah 89 atau 55,7 persen.
Ranah terjadinya kasus kekerasan terhadap perempuan lebih banyak di ruang publik yaitu 93 kasus, kemudian di ranah privat yaitu 63 kasus.
"Dari 154 kasus kekerasan terhadap perempuan paling tinggi adalah kekerasan seksual sejumlah 120 kasus atau 78 persen," ujarnya.
Tingginya aksi kekerasan terhadap perempuan tersebut, kata Citra, pihaknya melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Kampanye itu merupakan kampanye internasional untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.
"Kami melakukan serangkaian kegiatan dan mengajak berbagai pihak dan masyarakat secara umum untuk mendukung dan terlibat dalam kampanye ini," tuturnya.
Dia melanjutkan, di masa pandemi Covid-19 perempuan juga masih mengalami kekerasan dan beragam bentuknya.
Situasi yang dialami oleh perempuan korban kekerasan selama masa pandemi covid-19 paling sering terjadi yaitu kasus kekerasan berbasis online dan kekerasan seksual.
Untuk konseling korban karena harus melalui online membutuhkan waktu yang lama dan berhari-hari.
Pendampingan kasus juga lebih banyak dilakukan melalui online dibandingkan tatap muka karena situasi covid-19.
Ada kekhawatiran dari pendamping ketika bertemu secara tatap muka akan tertular covid-19, ketika proses di kepolisian tempat duduk belum berjarak dan masih berkerumun.
Beragam hambatan yang dialami oleh korban, diperburuk dengan ketiadaan payung hukum yang secara khusus dan komprehensif melindungi korban kekerasan seksual.
Sedangkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang dapat melindungi hak-hak korban kekerasan, dimana mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban serta pemidanaan pelaku.
Namun, pada 30 Juni 2020, Badan Legislasi DPR RI mengeluarkan RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2020 berdasarkan keputusan Komisi VIII DPR RI selaku pembahas RUU PKS selama ini.
"Kami mendesak DPR RI untuk membahas RUU PKS agar kembali menjadi Undang-undang Prioritas pada prolegnas Tahun 2021," tegasnya. (Iwn)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/kepala-divisi-informasi-dan-dokumentasi-kjham-citra-ayu-berdiri.jpg)