Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Regional

Ditemukan Kucing Merah Langka Pertama Kali di Hutan Kalimantan, Awalnya Hanya Ujicoba Kamera

Bermula dari uji coba camera trap buatan Jepang. Ditemukan hewan langka kucing merah di hutan Kalimantan.

Editor: m nur huda
Dok. Rustam dkk
Kucing merah yang tertangkap kamera jebak di hutan sungai wain, Balikpapan, Kaltim, 2016. 

Sekretaris Adat Desa Tukul, Kutai Barat, Avun mengaku tak tahu satwa endemik Kalimantan ini. “Tidak tahu,” katanya singkat.

Selain belum pernah melihat, cerita rakyat atau dongeng perihal kucing merah juga tak ada.

Hutan primer Sungai Wain tersisa 30 persen ancaman bagi satwa langka Kepala UPTD Sungai Wain, Dinas Kehutanan Kaltim, Zulkifli mengaku baru mengetahui kucing merah ada di hutan Sungai Wain saat dikonfirmasi media ini.

Selama bertugas, dirinya dan tim belum pernah mendapati ataupun mendengar laporan warga sekitar perihal kucing liar itu.

Oleh karena itu, Zulkifli tak tahu banyak soal kucing merah.

“Saya baru tahu ini. Tapi prinsipnya kami terus menjaga Sungai Wain agar satwa yang hidup di dalamnya tidak terancam termasuk kucing merah itu,” ungkap Zulkifli saat ditemui Kompas.com di Samarinda.

Luas Sungai Wain 11.246 hektar, terbagi dalam beberapa tipe hutan, rawa-rawa, sisi sungai, dataran rendah serta hutan perbukitan yang kering. Tipe hutan terakhir ini merupakan habibat kucing merah.

Jauh sebelumnya Sungai Wain terkenal dengan tutup hutannya yang utuh karena kayu ulin, bangkirai, gaharu dan ratusan jenis kayu lainnya yang tumbuh di kawasan itu.

Di situ juga hidup banyak satwa terlindungi seperti macan dahan, beruang madu, orangutan, rusa dan ribuan jenis burung termasuk kucing merah, satwa endemik Kalimantan.

Data unit pelaksana badan pengelola (UPBP) kawasan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) tahun 2010, ada 124 famili flora, 287 jenis burung dan 451 jenis pohon yang hidup di Sungai Wain.

“Tapi saat ini tersisa sekitar 30 persen yang masih virgin (primer). Sisanya hutan sekunder bekas kebakaran, perambahan zaman dulu dan lain-lain,” terang Zulfikar.

Ancaman terbesar bagi satwa yang hidup di Sungai Wain, kata Zulfikar, karena deforestasi dan perburuan.

“Kami patroli kadang ketemu mereka (pemburu). Kami amankan mereka beri pemahaman agar tak diburu lagi binatang dalam hutan itu,” tegas dia.

Ancaman deforestasi seperti kebakaran hutan, perambahan juga cukup serius juga tekanan kota.

Pada 1993, cabang Dinas Kehutanan (CDK) Kota Balikpapan mengusulkan kawasan hutan yang telah dirambah sekitar 500 meter dari jalan Balikpapan- Samarinda dikeluarkan dari kawasan hutan.

Ancaman okupasi lahan kosong juga marak terjadi di sekitar hutan Sungai Wain, usai Presiden Joko Widodo menetapkan ibu kota negara pindah ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).

Hutan Sungai Wain berdekatan dengan lokasi ibu kota negara yang ditunjuk Jokowi.

“Banyak klaim hak milik. Padahal hutan itu kan punya buffer zone juga. Itu yang perlu kita jaga,” terang dia.

Ancaman lain seperti ilegal logging dan pertambangan batu bara ilegal sudah berkurang bahkan tak ditemukan lagi.

Secara administrasi, hutan Sungai Wain bersisian dengan Kelurahan Karang Joang, Kota Balikpapan.

Namun, tidak ada komunitas masyarakat di sekitar Sungai Wain yang konsen dengan satwa tertentu di Sungai Wain.

“Yang ada adalah forest guard (penjaga hutan) yang berasal dari masyarakat lokal,” kata Rustam.

Zulkifli mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Yayasan Pro Natura untuk pengamanan habibat Sungai Wain.

Manager Pro Natura Agusdin mengatakan, yayasan yang dikelola konsen dengan konservasi keseluruhan Sungai Wain, tidak fokus pada spesies satwa tertentu.

“Kami mengajak masyarakat di sekitar hutan untuk terlibat dalam kegiatan kami,” tutur dia.

Visi kegiatannya meliputi penjagaan hutan, konservasi dan kegiatan pengamanan dengan patroli hutan.

“Belum ada komunitas masyarakat khusus yang konsen dengan satwa tertentu. Tapi penjagaan habibat secara umum di Sungai Wain ada, seperti kami,” terang dia.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah III, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, Suriawati Halim menyebut pihaknya tak punya kewenangan mengurusi satwa di luar kawasan konservasi, seperti hutan Sungai Wain.

“Kewenangan kami hanya dalam kawasan konservasi. Sungai Wain bukan kawasan konservasi, tapi kami punya kewenangan mengurusi satwa di dalamnya,” ungkap Suriawati.

Karena itu dia mengaku suka koordinasi dengan UPTD Sungai Wain perihal penyelamatan satwa langkah yang ada di dalam hutan tersebut.

Menurutnya pengelolaan hutan Sungai Wain saat ini berjalan baik. Karena itu habibat satwa pun akan baik.

“Jadi dengan pengelolan kawasan dengan baik itu sudah membantu pelestarian semua satwa yang ada di sana, tak hanya kucing merah, tapi semua,” jelas dia.

Peneliti mamalia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gono Semiadi mengatakan, tantangan mengurusi satwa selama ini berada di luar kawasan konservasi. Sebab BKSDA punya kewenangan terbatas.

“Tetap kita perlukan kelompok pemerhati satwa. Biar jadi penyimbang. Ketika satwa ada di luar kawasan konservasi ya masyarakat,” ungkap Gono saat dihubungi.

Setelah ditemui di Sungai Wain, Rustam melakukan pemodelan habibat.

Hasilnya kucing merah lebih menyukai habibat hutan primer pada dataran tinggi atau perbukitan.

Sementara daerah dataran rendah seperti hutan mangrove dan hutan rawa diprediksi tidak berkesesuaian.

Analisa itu menggunakan pemodelan niche MaxEnt yakni mengidenfikasi kesesuaian habitat yang telah diketahui sebelumnya.

Rustam mengumpulkan sebanyak 40 catatan dari 71 catatan kehadiran kucing merah untuk pemodelan.

Puluhan catatan atau kehadiran kucing merah itu, melalui program MaxEnt, akan diperkirakan distribusi yang paling seragam dari titik-titik kejadian atau perjumpaan satwa.

“Kalau di Kaltim hutan dengan parameter di atas yang cocok kucing merah, seperti di Sungai Wain, kawasan hutan primer di Mahakam Ulu dan Kutai Barat,” terang Rustam.

“Karena habibatnya sesuai, kemungkinan ada. Tapi sejauh ini kami belum ditemukan. Camera trap kami pasang belum menangkap pergerakan kucing merah di sana," sambung dia.

Selain wilayah perbukitan, kucing merah cenderung hidup di hutan primer.

Alasannya karena ketersediaan pakan di hutan primer cenderung lebih banyak dibanding hutan yang sudah dikonversi jadi perkebunan ataupun hutan sekunder.

“Kemudian tempat berlindung dan berkembang biak juga bagus,” tuturnya.

Kucing merah merupakan spesies pemalu dan sensitif terhadap perubahan lingkungan.

Jika ada pengrusakan hutan primer maka habibat kucing juga terganggu.

“Jadi kalau hutan primer habis berarti punah juga satwanya,” terangnya.

Alasan langka

Secara spesifik LIPI belum melakukan riset khusus mengenai kucing merah ini.

Karena itu Gono Semiadi memberi apresiasi terhadap penemuan satwa kucing merah di Sungai Wain.

“Itu informasi bernilai. Kenapa bernilai, biar hutan itu benar-benar dijaga,” ungkap Gono saat dihubungi Kompas.com.

Bagi Gono, sulitnya mengindentifikasi kucing merah dipengaruhi beberapa sebab.

Bisa saja ukuran tubuh kecil membuat satwa mudah sembunyi sehingga sulit tertangkap kamera.

Faktor lain bisa saja jumlah populasi yang ada wilayah tersebut terbatas.

"Hal itu tentu menyulitkan. Bisa saja hanya satu atau dua ekor saja kan sulit dapatnya," kata dia.

Penggunaan camera trap pun punya kelemahan. Sejauh ini penggunaan cenderung mengungkap spesies tertentu ada pada suatu habibat tertentu, tidak pada pupolasi.

“Tapi sebenarnya kita bisa hitung populasi asal sesuai metodenya. Bisa menggunakan camera trap asal durasi waktu, jumlah camera, serta luasan wilayah yang akan ditangkap perlu dihitung,” jelasnya.

“Sebab kombinasi ini yang akan menentukan satwa yang kita inginkan. Termasuk soal menghitung populasinya,” sambung dia.

Berharap dijaga

Rustam meminta agar pemerintah memastikan kawasan hutan yang saat ini masih tersisa tetap terjaga agar satwa langka di Kaltim tetap hidup aman.

“Yang paling penting itu jaga kawasan hutan. Itu paling penting. Karena spesies penting itu tidak kenal batas kawasan. Kita sering lupakan kawasan yang kita buka dari hutan,” katanya.

Gono menyarankan pemerintah memberi dukungan bagi kalangan masyarakat pemerhati satwa yang fokus dengan spesies tertentu.

“Yang diperlukan di Indonesia adalah pemerhati yang fokus pada spesifik dengan tingkat spesies tertentu,” ungkapnya.

Hal tersebut agar informasi yang disampaikan mengenai spesies tersebut bisa lebih valid. Gono memberi contoh konsorsium harimau Sumatera, konsorsium orangutan, beruang madu dan lainnya.

“Kumpulan-kumpulan seperti ini yang dibutuhkan pemerintah sebagai citizen science (sains warga),” jelas dia.

Dengan begitu, informasi pada spesies tersebut lebih berkualitas dan valid.

Senada, Direktur program Tropical Forest Conservation Act (TFCA) Kalimantan -Yayasan KEHATI, Puspa Dewi Liman mengatakan pihaknya siap memberi dukungan bagi kelompok masyarakat yang ada di sekitar habibat yang konsen dengan spesies satwa tersebut.

“Kami bisa mendukung asal dengan kelompok masyarakat yang sudah ada di habibat itu yang konsen dengan spesies tertentu. Jadi data mereka dapat, mereka juga yang jaga jadi lebih kuat,” ungkap dia singkat.(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kucing Merah Langka Pertama Kali Tertangkap Kamera di Hutan Kalimantan"

Sumber: Kompas.com
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved